Senin, Desember 09, 2013

Story of My Life : Love Story Part One




Maybe you've had your heart broken one too many times, and you think it's easier to be a cynic. And every time you watch a fairytale moment in a movie, all you want to do is gag.

Tahu ini akan sesulit ini?

Ya…tahu dan paham dan pasti sudah memprediksi. 

Saya juga katakan itu pada suami saya, ketika ia bertanya.

Akhirnya pecah juga pertengkaran kami sebelum merayakan first anniversary kami. Buntut-buntutnya jadi begitu panjang. Kegoisan, labil dan keras kepala membuat kami masing masing terlempar pada satu titik terpedih dalam hidup kami, dan semoga tak ada yang kedua kalinya ( amiin, bukankah kami belajar)

Pernikahan kami, dilandasi dengan kesucian yang amat terjaga. Ta’aruf yang terjaga dan tanpa waktu lama. Apa ini keputusan yang terburu-buru. Kami sama-sama belum memiliki izin KUA untuk menikah (seharusnya). Tapi karena kami menikah bukan karena kecelakaan, baik-baik dan dianggap mampu, maka izin pun keluar. Suami saya begitu gantle, meminta diri saya langsung pada orang tua saya. Diterima atau tidak (oleh saya) dia sepenuhnya menyiapkan diri. Tapi tentu saja, tak ada alasan saya untuk menolak. Sungguh, apalagi orang tua saya mendukung penuh, seperti kata mereka, ‘menantu idaman didepan mata’.

Menantu idaman, karena ia bicara apa adanya ketika memperkenalkan diri. Ia menjunjung tinggi apa yang disebut kejujuran ( dan sekarang saya yang merasakannya), ia mapan dan tahu dapat diandalkan menjadi imam. seorang ustadz muda dengan suara yang merdu, gemar menghafal al-qur’an, ketekunan dalam bekerja, dan lain-lain yang membuat saya jatuh cinta. Tapi tetap, jatuh cinta pertama saya hadir dimalam pertama. Dimana ia membuat saya bergadang dengan lelucon-leluconnya. Manis, ceria, saya menyadari betapa ia masih sangat muda, tetap tidak kaku. Ah. Tapi sifat inilah yang memulai segalanya.

Saya ingat, seorang sahabat saya ketika diberi kabar bahwa saya dikhitbah, celetuknya justru

“Ah… gak mungkin… gak mungkin” hehe, ia tertawa dari bahasa bibirnya. Tahu bagaimana saya (yang mungkin) belum begitu pantas masuk ke jenjang pernikahan itu. Tapi itulah faktanya. Saya memilih menikah muda, dengan orang yang masih muda pula, dan jadilah kami sepasang jiwa kekanak-kanakan menyatu.

Hanya saja…

Saya tak sedang membela diri, tapi saya benar-benar berusaha semaksimalnya menjadi pribadi yang dewasa. Sekuat tenaga menjadi istri yang baik dan sejajar dengannya. Semuanya, saya lakukan dengan sungguh-sungguh. 

Masa-masa jatuh cinta kami jelas tak bisa pupus dihati saya. Kalau saya memungkiri anugrah Allah ini, maka betapa celakanya saya. Betapa ruginya saya. Nyaris dua bulan pernikahan kami, saya bisa memberinya kabar, bahwa buah cinta kami telah tumbuh. Saya hanya senyum-senyum sendiri mengingat bagaimana ia bereaksi. Itu kenangan manis. Sekali lagi, kenangan manis. Dan setelah amanah dalam pekerjaannya bertambah, kami dihadiahkan rumah sederhana untuk berdua. Sederhana memang, tapi itulah rumah cinta. Apalagi dengan lingkungan yang begitu maksimalnya mendekatkan diri pada Allah. Cinta kami subur, tumbuh, saling membahagiakan dengan kemampuan kami. Tapi satu hal, kami masih kekanak-kanakan. Kami tetap tumbuh dengan jiwa yang ada diusia kami. Tak lantas dewasa dengan perkara ijab kabul itu…

To be continue...







 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men