Selasa, November 25, 2014

C-Ray


Cerai??
Pernikahan saya bahkan belum genap 2 tahun. Dan tentu saja kata itu memiliki hawa mengerikan tersendiri bagi naluri saya.

It's oke. Ini bukan tentang saya. Tentang kisah sepasang lain yang membuat saya kaget bertubi tubi.

Tapi tentang siapapun, cerai akan menakutkan bahkan untuk yang berusia puluhan tahun kebersamaannya. Sebab artinya akan ada sebuah luka menganga yang tergores. Minimal butuh pelampiasan yang amat sadis hanya untuk mengabaikan luka itu, bukan untuk melupakannya.

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah, fenomena bahwa: pada akhirnya yang paling sering mengumbar foto mesra lah yang berakhir paling tragis. Apakah dulu mereka merasa sehidup semati sampai lupa pada kekurangan pasangan dan pura pura terkejut saat menerimanya. Bah., ratusan hari bukan waktu yang singkat, apalagi ribuan hari dan minggu. Kenapa harus menyerah ditengah jalan. Sungguh se tak sanggup itu
Kah?
Apa ada hubungannya? Mengumbar foto mesra dengan terpisahnya dua hati itu pada akhirnya? Entahlah, silahkan jawab masing masing. Saya pun tak tahu. Hanya saja bagi penonton seperti saya tentu terasa mengganjal.

Saya memang beberapa kali mendapat teguran secara tak langsung untuk tidak memasang foto mesra berdua dengan berbagai alasan. Tapi, begitulah manusia. Seperti butuh pengakuan diri, aktualisasi diri. Harus selfie mesra dengan alasan kepuasan saja. Loh, saya tak memungkiri itu. Entah setelah diposting apa alasan paling dalam nya, riya, pamer. Ahhh.. saya juga tergiur, tapi.. oh entahlah.

Rabu, November 19, 2014

November


Oh... welcome november

Selasa, November 04, 2014

Catatan fiksi-nyata



Siang mulai beranjak sore. Hari itu lelah kami berpadu cepat. Perjalanan panas antara Balikpapan-Samarinda rasanya begitu menggairahkan untuk tidur. Kecuali abah yang sedang asyiknya menemani pak supir bercakap-cakap.
Supir : Oh.. jadi baru menikahkan anak ya pak
Abah : iya pak, anak kedua. Masih kuliah pula, semester 7
Supir : Walah pak, jadi ini udah nikahan anak yang kedua ya? Gak sayang pak sama kuliahnya anak-anak?  
Abah : Sebenarnya nanggung pak rasanya. Yang kemarin, anak pertama kan mundur lulusnya, malah belum bisa lanjut untuk jenjang selanjutnya (lirikannya ‘nyaris’ menuju saya. Jadi ya, rasanya juga ‘nyaris’ nyucuk banget dihati, huhu)
Supir : Wah sayang sekali...
Abah : Yah.. nggak juga pak. Begitulah kalau jodoh sudah datang. Anak-anak saya ini kan perempuan. Kalau ada laki-laki sholeh yang datang meminta ya mau bagaimana lagi, harus diterima, tanpa alasan apapun, apalagi kalau masalahnya belum lulus. Bisa timbul fitnah nanti pak...

Saya : Eheheh #ngalem, #Wew

8 Bulan



Kenapa kebiasaan si kecil mulai berubah lagi?

And it makes me annoyed,

Sesungguhnya.. sebenarnya... aku sudah mengantuk sejak tadi. Tapi memang beginilah siklus tidur kami para ibu. Yakni tergantung bayinya, kapanpun ia ingin bangun, bangunlah kita, kapanpun ingin tidur, tidurlah kita. Kecuali para ibu berhasil me’lobi’ si bapak untuk ikut turun tangan mengurus bayi. Jadi bahasa kejamnya, si bapak akan mengurus bayi ketika bayi bangun,dan membiarkan ibu tidur lelap tanpa gangguan. Dan ketika bayi pun tidur, si ibu juga ikut terlelap disampingnya, huawaahh kejamnya...

Bahkan ketika  jam dinding sudah berdetak sepuluh kali, ia masih merayu- rayu dengan tangisannya untuk bermain. Seolah meminta berhenti untuk dikeloni. Terpaksa dan dengan sangat terpaksa aku menghentikan belaianku, mengajaknya bangun, menyalakan kembali lampu kamar, daaaan, tersebarlah senyumnya. Cerah dan meluluhkan. Tangannya bergerak-gerak lucu menatap kipas angin. Suara khas bayinya keluar membentuk nada sambil menggenggam jari jemari kakinya. Ia menatapku berkedip-kedip dengan matanya yang bening, lalu menambahkan senyumnya yang manis dan mempesona, untuk mengajakku bermain.

8 bulan sudah...

Menatap lekat wajah lucunya membuatku haru mendadak. Pertanyaan  pertanyaan yang bertahun-tahun lalu tak kian terjawab, rupanya dijawab kini.

are you my baby?

Mengingat dulu tangan bahagia ini mengangkatnya, ia masih sangat kecil dan lemah waktu itu. Lalu ia sudah mulai bisa tertawa, menggenggam tanganku. Oh, it’s so happy.  Selang bebarapa bulan kemudian kami menunggu gerak tengkurapnya, tak juga hadir, sabar tentu saja ada, tapi proses menunggu dengan gelisah itu lebih dominan. Kamu kenapa sayang? Malas kah? Atau tak mampu? Kenapa rasanya seperti menjudge si bayi ini. Pun ketika bulan ke 7 ia belum juga menampak rasa ingin merangkak, kami masih siap menunggu. Bagaimanapun proses perkembanganmu itu membahagiakan, membuat kami menunggu-nunggu. Sabar dan gelisah sudah diluap-luapkan pada suami lewat seluler, pun disuruh sabar dan jangan gelisah. Nasihat seperti ‘semua anak punya caranya sendiri, punya masanya sendiri untuk berkembang’ , semua itu tenggelam dengan kicauan mereka tentang ‘Loh, anakku sudah mulai tengkurap usia 2 bulan, sudah mulai merangkak usia 7 bulan’. Lalu gelisah lagi... it is me, Mom.

Now, 8 bulan

Apa aku yang salah? Stimulasi yang kuberikan tidak begitu baik? Aku banyak tidak belajar? Kebanyakan teori? Lalu harus belajar dari mana? Sampai-sampai godaan untuk membelikan dan menaikkan dia di ‘baby walker’ menggiurkan dibenakku. Tapi sisi lain sehatku masih bisa bergeming dan menggumamkan, “He is still eight months...”

Baiklah, fokus balik lagi.

Sementara aku berebah, si kecil duduk di sisiku, menepuk-nepukkan tangannya (dengan khas gaya bayi tentunya) dan aku bernyanyi.

“Kamu mau main apa sayang?”
Tak ada jawaban pasti keculi suara lucu dari mulutnya.

“Oke, Ayo tepuk tangan, anak yang sholeh..”

ia menggerakkan dua tangan mungilnya untuk dipertemukan didepan dada, mengikuti arahanku, done! Aku tersenyum. Sembari bernyanyi dan mengulanginya beberapa kali lagi.

“Selanjutnya, geleng-geleng ya nak...”

Kembali ia mengikuti arahanku, menggelengkan kepalanya tanpa aturan. Tawaku pecah. Lucu.

"Teriak ! Aaaaa.." aku mencontohkan. ia pun kembali mengikuti. Mulutnya bergerak melebar dan berucap, " Aaaaa" dengan ekspresi marah dibuat- buat

Stimulasi kecil ini sering diajarkan ammah2 yang mengajaknya bermain. Tepuk tangan, geleng-geleng, memeletkan lidah, memainkan bibir, kemudian kiss bye (boleh usul yang lain, hehe).

Puas rasanya melihat ia ikut tertawa juga.

“Kalau begitu terkhir, sebelum kita bobo. Daadaa sayang..”
Ia kemudian mengikuti tanganku yang melambai-lambai. Gerakannya ke segala arah. Membuatku makin terbahak-bahak.

“DAADAAA,..” ucapnya lamat dan jelas. Tentu saja membuatku surprise. Ia bahkan sudah bisa mengkuti ucapan sederhana itu. Kalau kemarin ia juga mengikutiku bicara “Nggak” dengan keras, lalu bunyi ‘toet-toet’ juga lumayan jelas, membuatku tersihir beberapa saat. Sebelum akhirnya rasa haru itu memuncak, menghadirkan setetes air bening di ujung mata. Tak  urung aku menciuminya bertubi-tubi.

Kali ini waktunya istirahat, aku mematikan lampu, menaruhnya kembali ditempat tidurnya, kemudian kembali pada epiode ‘keloni’. Ia masih mengeluarkan suara kecil membentuk sebuah nada lewat bibirnya. Lalu mengangakat jemari kakinya dan membiarkannya menyentuh mulutnya. Iamjinasiku bermain, membayangkan seolah ia bernyanyi sambil memegang mic, yaitu kakinya sendiri. Imajinasiku tak penting. Tapi melihatnya bergerak baik dan normal itu lebih membahagiakan. Sambil membelainya , aku mengucapkan terimakasih karena sudah banyak membuatku tertawa dan bahagia hari ini.


Yes, he is still eight months old

Pesan Singkat


Saya seperti bangun dari sebuah ketidaksadaran yang amat lama ketika menemukan sebuah pesan singkat dari suami saya.
Saya menunggu kesediaan kalian, bunda dan fajri untuk mendampingi saya disini...
Pada akhirnya pesan itu keluar. Entah bagaimana mendefinisikan perasaan saya saat itu; marah, terharu, kesal,sedih, takut dan rindu. Semua terwakilkan dalam getaran tangan saya dan setetes air mata disudut mata saya.  Emosi saya teraduk kala itu.

Sebab,
Ini sudah bulan kelima, usia anak saya bahkan sudah menuju 8 bulan. Masa-masa emas dimana ia hanya menggiring senyum semua orang yang memeluknya. Lucunya mengalahkan boneka manapun yang pernah dibeli semahal apapun. Tapi bahkan haru dan bahagia itu terbagi menjadi sesak dan rindu yang menggumpal karena harus berpisah dengan belahan hati. Terakhir suami saya melihat si kecil adalah ketika ia masih 2 bulan. Ia bahkan belum mampu merespon secara sempurna terhadap apa yang suami lakukan saat itu.

Dilematis dalam arti yang sesungguhnya. Akan dibawa pergi oleh laki-laki yang dirindui adalah angan terkeras saat ini, namun tak bisa juga dipungkiri, bahwa saya bahkan merasa takut. Takut pada dunia nyata, bahwa ini waktunya berjuang untuk sebuah realitas hidup yang sesungguhnya. Membayangkan bertahun-tahun kemudian seperti apa kiranya keluarga saya, membuat saya tak henti-hentinya merapal do’a. Harus memulai adaptasi dari nol, di sebuah tempat yang sungguh asing, bahkan mungkin karena lamanya tak bertemu, bisa jadi suami adalah salah satu dari sosok asing itu, adaptsi yang berat kiranya. Tapi menyesuaikan mimpi untuk bisa sukses, adrenalin saya juga seperti terpacu, semangat juga membara, merasa tantangan segar membias, jalan baru untuk lebih baik. Mana yang terjadi, entahlah...



 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men