Kamis, Desember 17, 2015

Emak amatiran


Huhu... maap yak. Cerita emak amatiran.
Sepulangnya ayah sore tadi, pemandangan rada ekstrim terjadi. Buka pintu si dengar si adik lagi jerit jerit gak karuan. Badannya udah setengah mau meluncur dari kasur sangking ngamuk ngamuk gak di gendong.

Emaknya?
Kalang kabut ngurus air, karna biasanya diurus si ayah sampai tuntas. Ngurus dapur juga bagian belakang karena tiba tiba nyium bau gas nyengat. Plus lantai lantai yang basah kuyup.

Kenapa?

Karena si abang lagi asik berekspresi di kamar mandi. Pake selang, diguyur kemana mana.

Wow... lemes banget. Menanggapi kepalanya ayah yang geleng geleng dengan mata berkaca kaca. Serasa ada malaikat yang datang.

Padahal ini perdananya masih ditinggal ayah lama gini ke metro. Berangkat pagi pulang sore. Terus gimana kalo jadwal udah mulai padat. Si ayah bakal agendakan nginep. Mulai minggu ini.

Jangan tanya apa kabarnya cucian baju, cucian piring, nyapu rumah apalagi ngepel?

Nyetel agenda rumahan yang wajar sama anak anak ini gimana. Ulaaa... emak amatiran

Rabu, Desember 02, 2015

New habit episode 2


Sambil menulis tulisan ini, saya menikmati rayuan lelahnya mata yang mulai mengantuk. Tapi masih tetap terjaga diantara rengekan kecil dua bayi yang bergantian.

Sebab banyak sekali new habit yang terjadi dalam lingkup keluarga kami yang ingin saya share; sebagai pengingat pun sebagai cara untuk memperbaiki apa yang harus diperbaiki.

Di usia selabil ini, layaknya perempuan lain yang masih memerankan perasaannya sebagai pengontrol diri, saya pun begitu. Tapi saya sedang mendidik diri saya sendiri untuk tetap bertahan di sekolah kehidupan, melewati nya alih alih meliburkan diri dan istirahat.

Ketika hamil, banyak pertimbangan yang saya pikirkan sampai akhirnya saya memutuskan untuk tetap bertahan di rumah rantau bersama suami dan abang fajri sampai melahirkan. Meskipun tawaran untuk pulang kampung untuk mendapatkan amunisi yang lebih baik itu ada. Amunisi itu tentu tak hanya untuk saya, namun juga untuk anak anak. Setidaknya ada banyak yang membantu menjaga anak anak sementara saya dalam proses pemulihan.

Namun, akhirnya inilah pilihan saya. . .

Alasannya, saya meminta jawaban ini langsung ke Allah. Berharap tentu saja ini yang terbaik. Selain karena saya tahu beratnya dunia LDR yang pernah saya tempuh beberapa waktu lalu. Tentu ini bagi saya. Tak bisa dipukul rata untuk semua perempuan.

Apapun itu, akhirnya itulah keputusan saya.

Lalu, ..
Setelah episode baru itu datang, barulah saya bisa jujur betapa payahnya menjalani semua ini. Tapi inilah titik saya benar benar merasa menjadi seorang ibu. Mengurus dua bocah ini sendirian kala suami kerja.   Mandi mereka, makan mereka, rengekan mereka, ohhh rasanya, lelah itu berbuah senyum. Tapi tetap saja lelaaaah

Kami tentu tak punya waktu untuk banyak banyak mengurus diri sendiri, apalagi bertengkar. Kami harus bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah berdua. Kalaulah rumah sudah seperti kapal pecah, suami tak lagi marah atau bagaimana karena ia juga paham betapa lelahnya melewati hari.

Sekolah kehidupan yang dipilihkan Allah lewat sebuah takdir bernama episode baru, anak kedua, tak mungkin tak ada maksud lain. Bila saya tuntas dan cepat lulis  naik kelas, akan hadir episode lain yang lebih baru. Apapun  itu entahlah, sedang dipersiapkan. Itulah kenapa saya memilih untuk tidak meliburkan diri. Setidaknya agar cepat lulus...

Hoahhhmmm... ngantuk!

Selasa, November 24, 2015

New habit episode 1


Banyak sekali kebiasaan baru yang hadir di dua minggu terakhir ini. Tepatnya setelah lahirnya penghuni baru rumah kami ini. The second prince our abdurrahman fatih al-Fakhry.

Beberapa diantaranya adalah episode di malam hari. Yap! Tidur.

Kami berdua akhirnya memutuskan untuk memisahkan kamar anak anak sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Berbagi tugas dimana saya menghandle si adik dan sang ayah menghandle si abang.

Tentu itu menjadi something new buat saya, tapi bagian paling dramatisnya tentu buat si abang. Sejak malam kedua dia menyadari bakal ada yang berubah, disitulah amukan dimulai, dia mulai ngalem.

Bersyukurnya suami mau diajak kompromi masalah mengurus anak ini. Biasanya??? Oalaaah... No!

Mulai dari urusan menidurkan(Ngeloni), mengompol, bikin susu sampai masalah tidak nyamannya tidur karena panas atau sebagainya, biasanya si ayah tetap nyenyak tidur diantara tangisan si bayi.

Tapi sekarang, mau tak mau, suka tak suka, semua harus berubah. Dan terbentuklah 'new habit' di rumah kami. Usaha sang ayah ini 75% berhasil. Lho? Hanya 75%?

Huum

Karena ayah tetaplah ayah...

Ada saatnya ditengah malam, bahkan ketika si abang menangis jerat jerit disampingnya, sang ayah tetap tidur pulas, entah pura pura atau sangking ngantuknya. Dan itu membuat saya harus wara wiri dari kamar satu ke kamar lain. Pasalnya, saya PASTI bergadang.

Kadang urusannya sepele. Setelah diganti celana popoknya, atau kasih si anak minum, dia bisa kembali pulas. Meskipun kadang, ada saja adegan minta dikeloni ulang yang artinya memakan waktu dan terpaksa meninggalkan si adik di kamar sendirian.

'New habit' ini tentu gk mudah untuk setiap personalnya. Justru yang paling mudah adalah saya sendiri. Karena -tentu saja- saya sudah terbiasa diganggu tidurnya selama setahun lebih -nyaris dua tahun- dan akan masih terus berlanjut. Justru berat untuk personal yang lain (kita mengabaikan si newborn ya). Meski begitu, saya menahan diri untuk gak bilang ke suami "tuh... beratnya apa yang saya jalani selama ini, kami akhirnya ngerasain kan?, hihihi". Noooo! 75% usaha suami itu tadi akan saya hargai. Karena bayangkan jika saya mengurus keduanya dalam satu waktu.

Well,

Ibu tetaplah ibu...

Saya sendiri agak kesusahan adaptasi. Setelah drama menyapih yang baru berjalan dua bulan yang lalu. Sekarang pisah kamar. 'New habit' ini agaknya membuat saya baper. Sungguh!

'What if' nya, saya pengen seperti dulu, bisa menjadi 'the one' di hati si abang. Tapi secara teori saya sadar betul ini proses pendewasaan juga. Meski ia tak benar benar dewasa. Belum dewasa tepatnya. Tapi ini adalah bagian dari proses. Termasuk belajar mengendalikan perasaan saya yang makin mello. Lihat saja bagaimana akhirnya setelah menikah, kami harus meninggalkan orang tua di tanah perantauan. Kelihatannya dewasa, tapi...

Ibu tetaplah ibu...

Saya tahu bagaimana bapernya itu. Setiap wanita... setiap ibu, tahu itu...

Jadi sebenarnya, saya lah yang butuh belajar. . .

Selasa, November 17, 2015

Persalinan kedua part 2



10 November 2015

Hari selasa, pukul 00.00,

Waktu terasa berjalan lambaaat sekali. Rasa sakit itu sudah semakin menjadi jadi,tapi bidan bilang baru akan mengecek pukul 3 dini hari menjelang. Sementara suami sudah pulas tidur, saya memutuskan untuk mendengarkan murottal alih alih menyiapkan hypnobrithing. Pada intinya saya bertawakal saja pada Allah.

Pukul satu dini hari, saya kehausan tapi tak kuat berdiri untuk mengambil minum. Perlahan air mata saya menetes. Duh, Ya Allah... rasanya melahirkan tanpa ada keluarga itu luar biasa. Kelahiran pertama pun, suami juga tidur terlelap dangan kasus yang sama; baru pulang dari luar kota, dan baru terbangun saat mendengar tangisan bayi yang baru lahir, tapi kala itu ada keluarga saya menemani.

Saya panggil suami saya yang sedang terlelap. Bebarapa kali, susah karena ia terlalu lelap. Ketika terbangun dan mendapati saya bercucuran air mata kesakitan, yang ia lakukan adalah memanggil bidan. Refleks.

Bidan datang beberapa menit kemudian. Melakukan  pemijatan refleksi supaya saya lebih tenang. Saya minta dipanggilkan suami yang masih terkantuk kantuk.

"Bu... Saya mau mengejan" pinta saya terengah engah dan menangis.

"Hmm... baiklah, tanpa suara ya"

Lalu bidan melipat kaki saya dan  memindahkan posisi badan saya menjadi menyamping sambil mengapit kaki.

"Ini membantu bayi kamu menemukan jalan lahir,"

Saya mengejan sekuat tenaga.
"Fokus mbak, jangan bersuara" bidan kembali mengingatkan.

Hari itu saya gagal untuk gak teriak teriak dan menangis. Meskipun sudah mempersiapkan hati dan mental tetap saja rasa sakitnya tidak karuan.

"Sebentar saya cek sampai mana,"

Dan ternyata, kepala bayi sudah mulai tampak.

"Wah... cepat sekali. Coba deh kamu berhenti mengejan atau ngeden. Tarik napas dan keluarkan seperti orang batuk itu. " perintahnya. Saya mengikutinya. Sampai pada batuk kedua saya merasa ada sebuah kepala meluncur keluar.

Dan tangisan itu pun keluar. Rasanya???

MasyaAllah.... sakiiiittt, tapi bahagianya. Alhamdulillah. Saya lirik jam dinding di kamar itu. 02.15

Suami saya masih menatap bayi itu dengan tatapan pucat. Ya! Wajahnya pucat semenjak ikut masuk ke ruang persalinan. Saya tau betul betapa ia tak sanggup menyaksikan hal hal semacam itu. Jangankan melihat istrinya kesakitan mengeluarkan makhluk kecil tak berdaya itu. Melihat ayam atau kambing disembelih saja dia bisa pucat pasi.

Anak kedua kami segera di urus oleh bidan dengan cekatan. Suami menyaksikan (lagi lagi semuanya). Saya pikir, baguslah dia punya pengalaman seru melihat orang melahirkan :p . Sementara itu saya masih memilah milah tenaga yang tersisa. Mengumpulkannya cuma supaya demi melupakan rasa sakit luar biasa yang baru saya hadapi. Pun begitu, saya tau masih ada lagi yang harus saya lewati. Mengeluarkan plasenta dan menikmati jahit menjahit itu.

Ya! Trauma kedua tentu saja urusan jahit menjahit yang nyeri nya akan tersisa hingga hitungan minggu. Membuat kita takut untuk ke belakang atau bahkan untuk bergerak bebas. MasyaAllah.

Tapi rasa syukur saya masih sungguh berlimpah. Allah masih mengizinkan saya menikmati rasa sakit yang luar biasa ini sehingga saya akan dipanggil "ibu" (benar benar ibu) lagi oleh anak kecil ini.
Meski kedepannya akan banyak sekali yang harus dibenahi, akan banyak sekali yang berubah, akan banyak sekali cerita.

Mereka adalah amanah,titipan sekaligus anugrah. Semoga Allah memampukan diri ini bekerja pada posisi ini semaksimal mungkin. Amiin

Persalinan kedua part 1


9 November 2015

Saya masih beraktivitas seperti biasa. Rasa sakit pinggang yang muncul sejak siang saya abaikan saja. Gara garanya saya sudah sering di Php in sama rasa sakit ini A.k.a kontraksi palsu sejak 2 minggu sebelumnya. Huft.
Sejak 2 minggu yang lalu saya ikut nyebur ke pantai demi lihat suami dan si abang asik banget mainan air. Walhasil sepulangnya saya langsung sakit pinggang sepanjang hari dan muncul flek (tanda tanda melahirkan muncul). Rasa panik dikit memang. Secara usia kehamilan masih jalan 37 weeks. Subhanallah. Dan sepanjang minggu perjalanan hati jadi was was terus. Suami sering batalin agenda, ternyata nihil karena cuma kontraksi palsu. Semakin dewasa usia kandungan, semakin panik, semakin sakit. Pasalnya, si bang kemarin lahir pas usia kandungan 38 weeks. Lhaa... nyaris 40 weeks si adik masih kerasa kencang tendangannya. Hiks... polos banget sih, g ngerti ya kalau bundanya udah ngos ngosan. Apalagi disambi momong si abang yang masih minta gendong.

Tapi menjelang sore perasaan  saya bertambah yakin. Dihitung hitung sudah ada kontraksi ringan yang teratur sejak siang yang g kunjung hilang. Sambil mendamaikan hati saya coba coba cari informasi lewat bbm ke teman saya yang berprofesi sebagai bidan.

Lagi bertambah panik, mengingat suami sedang acara ke laut bersama anak santrinya. Pulangnya mungkin tidak sampai malam, tapi yakin deh, rasa lelah karena habis nyebur itu bisa bisa membuatnya gagal fokus untuk siaga. Huft...

Saya lobi mahkluk Allah yang ada di perut  sambil menancapkan doa kepada Allah. Minta dikasih timing yang terbaik. Sambil mengira ngira berapa beratnya kalau harus melahirkan malam ini juga; suami yang lelah, anak pertama yang masih lelap tidur dan tetangga yang agak g enak diminta bantuannya malam malam. Maklum, kami perantauan yang tidak dekat dengan sanak keluarga. Bantu membantunya ya hanya mengandalkan tetangga. Tapi, meminta sijabang bayi dikeluarkan esok hari pun rasanya tidak sabar  membayangkan sakit sudah teratur semalaman

Sepulangnya suami, saya beritahu kabar ini.
"Hmm...hmmm... besok, besok itu bun," terkanya usil. Ya , sebabnya sudah terlalu sering di PHP in oleh kontraksi palsu itu.

Lalu suami bilang ba'da magrib ada rapat di kalianda. Hua... demi Allah  saya kira itu bercanda. Secara saya sudah curhat masalah rasa sakit ini.
Ba'da magrib saya menunggu suami pulang dari masjid. Kontraksi sudah semakin teratur. Tiba tiba suami sms kalau sudah di kalianda, dan minta tolong untuk menjemput abang di rumah tetangga.

Aksss... gak karuan rasanya pengen marah, saya balas sms suami dengan nada dongkol tapi tetap sopan. Huuu betapa kesalnya saya kala itu.

Jadi ba'da isya saya tidur kan langsung si abang, sambil menahan nyeri saya fokus tetap santai cari informasi (sekaligus chat sama suami yang udah mulai rada percaya, hiks).

Pukul 10 malam nyeri kontraksi sudah beranjak menuju 5 menit sekali. Suami belum pulang, tapi message juga sudah tidak dibalas. Saya pikir mungkin masih dalam perjalanan. Jangan dinasehati untuk tidur, karena tidak bisa pejam sama sekali sekalipun sudah terasa lelah dan ngantuk.

Ketika suami pulang, kami juga tidak langsung ke bidan. Masih meraba raba juga kapan pastinya dia keluar, karena saya sendiri agak lumayan trauma harus menunggu lama di bidan. Bolak balik ke bidan ternyata baru pembukaan 1 atau 2 sehingga kami harus pulang lagi daripada menunggu lama di bidan. Sementara saya masih menikmati rasa sakit ini, suami justru ngobrol santai dengan temannya diteras rumah, bukannya malah istirahat. Beliau meyakini sekali kalau besok baru keluar.

Tepat jam 11, saya sudah mulai was was. Rasa sakitnya sudah mulai bertambah. Karena kendaraan kita cuma motor jadi saya putuskan untuk ke bidan. Takut kalau kalau sebentar lagi sakit yang amat sangat itu sudah semakin dekat.

"Hah... yakin?" Suami ikut terkejut dan buru buru bersiap. Membangunkan tetangga dan menitipkan si abang berharap dia g nangis malam ini menyadari ayah bundanya tidak ada disampingnya, hiks...

Sampai di bidan saya langsung diperiksa. Dan ternyata baru pembukaan 2, mendadak rasa nyeri tadi hilang, huaaa... ternyata masih pembukaan 2. Saya tanya suami bagaimana baiknya

"Saya cuma mau tidur," ucap suami lelah. Tuuuh kan benaaar. Segalanya jadi menyebalkan kala itu. Akhirnya setelah lobi lobi dengan bidan, kami disuruh menginap, meskipun kemungkinan esok pagi baru lahir.

Bersambung

Minggu, November 01, 2015

Baper 2


Hal yang paling ditakutkan oleh seorang ibu adalah ketidakmampuan mampu menjadi ibu yang baik buat anaknya, hiks..

Dan saya sering merasa pada titik itu. Beberapa kali lost. Saat anak sakit, depresi saya bukan terletak pada sakitnya anak ( yang secara teori tau penanganannya). Masalahnya justru terletak pada "kenapa saya bisa salah, tidak menjaganya baik baik"

Jadi ketika anak menangis, saya kadang hilang kendali menjadi depresi. Depresi ringan sih, sepeti merasa bersalah disusul meneteskan air mata, "perih di ulu hati". Tapi itu kadang, hanya saja tetap terjadi beberapa kali.

Menuruti permintaan anak,  saya merasa bersalah, takut kedepannya menjadi manja. Tapi mengabaikannya juga menyakitkan, huhuhu.

Belajar! Belajar!

Ada yang punya jawaban begitu? Justru kadang semakin banyak teori di kepala, semakin pusing menghadapi realita. See!
Misal, Anak2 g boleh minum susu, efeknya g baik, bla bla. Disisi lain anak ketagihan minum susu (mungkin itu efek gak baiknya), tapi realitanya gara2 minum susu dia jadi sehat, gempal, jarang sakit. Ahhh... teori manusia kali ya.

Mungkin saya harus pindah haluan supaya gak baper melulu jadi ibu. Saya pengen melatih ikatan batin aja biar jauh lebih kuat.

Tapi ada yang jauh lebih penting, "positif thinking, positif mind"

Saya kira itu!

Minggu, Oktober 25, 2015

Bawang putih


#gakpenting

Hari ini, lagi momong si anak sambil nunggu suami pulang. Kebetulan sambil nongkrong di tetangga. ... emak emak

Nah, pas suami pulang dia ikut berhenti dan nongkrong disana.

" Yah, baca sms saya gak tadi? Kan saya ada pesan sesuatu," ucap saya gara gara liat suami diem aja.

"Sms apa ya, gak ada sms masuk tuh,"

Ah, masa sih? Batin saya. Saya kirim pesan lewat wa buat nitip dibelikan sayuran, jagung, bawang putih, etc. Biasa sich emak emak. Pengen hemaat dalam segala hal, hihi. Kalau di pasar kan beli banyak, harga murah.

"Yaahh, bawang putih habis bis nih yah, " saya merajuk. Hahaha. Lagian, surat cinta buat suami juga kok ya bawang putih.

"Ya udah sih, besok beli di tukang sayur keliling," katanya cuek. Alamak, alamat mahal dong.

Terus ... terus... suami sibuk bagi bagi oncom seger buat tetangga. Pengen tambah merajuk. Hihihi. Bukan karena pelit. Tapi masih karena apa yang dipingin belum dapat.

" mbak.. Mbak... kalau mau oncom ambil aja di motor. Saya bawa banyak tadi," kata suami sama tetangga.

Nah waktu berlalu. Tetangga saya colek colek saya.

"Mbak, tadi waktu ngambil oncom di motor suami mbak, saya liat ada bawang putih, jagung, etc loh..."

Ehh... iya?

Langsung liat ke arah suami. Mukanya salting kayak ketahuan apa gitu, hahaha.

"Mau kasih surprise kali ya mbak," bisik tetangga..

APA??? SURPRISEE? BAWANG PUTIH?

HAHAHA.

Kembang! Mana kembang! Wkwkw

Yang romantis dong bang

Jumat, Oktober 23, 2015

Baper Ala Emak emak


You know... sometimes things did not go as we want to be...

Pernah dengar aja kan para bujang yang ngerumpi betapa inginnya mereka segera melepas masa lajang dan mengakhiri kesendiriannya. Yang lulus SMA pengen ngerasain kuliah dan pake toga, yang kuliah ngebet pengen lulus dapat kerja pegang uang sendiri, yang kerja pengen segera resign, dilamar pujaan hati dan segera punya momongan, yang udah ada momongan pengen segera punya banyak,  eh, terus yang ribet sama anak anak pengen balik jadi bujang lagi, hahaha

Curhat mak?

Iyaaa... alamak!

Kadang desperate sendiri gara gara baper. Entah ini karena urusan perut melendung yang udah 38 weeks atau gimana. Bawaan atau emang saya lagi ngorbanin perasaan saya, huuhu.

Apalagi waktu tetangga sudah pada tanya tentang ‘udah bulannya kan ya mbak?’ kemudian berlanjut pada wejangan ‘suaminya disuruh siaga ya, apalagi kalau malam. Habis dari masjid langsung pulang aja!”

Humm... *SedotIngusDuluLah*

Mana tega saya larang larang suami buat gak ikut pengajian sampai semalam suntuk, main futsal sama bapak bapak bocahnya, atau sekedar ngajar ngaji orang kampung di masjid, hiks. Bukan gak berani, tapi ya itu tadi ‘gak tega’. Ah enggak lah, itu jelas penafsiran saya aja mah. Aslinya saya ‘malas’ melarang karena ngerti banget seberapa butuh itu buat suami.

Jadi tiap dia bilang ,”malam ini futsal ya,” kan minimal sejam itu, belum perjalanannya atau kalau keasikan ya bisa bablas ngobrol.

Saya bisa aja jawab “Jangan deh! Tolong dihargai perasaan saya yang lagi hamil tua gak bisa kemana mana ini, (Ahh... biar gak hamil juga saya gak bisa keluyuran kan). Mending kita di rumah bikin acara. Nonton bareng, makan bareng atau apalah.”

Tapi nggak itu kalimat yang keluar. Saya cuma jawab “Ya, jangan lupa bawa hp, aktifkan terus”

“Beres,” jawabnya enteng.”Tapi kan, kalau main futsal juga gak liat HP”
Nah, saya diam. Baper saya jelas muncul. Bersama deru suara motor tanda kepergiannya saya mewek.

Ahhh emak-emak.... elu emak-emak, bukan bapak-bapak.

Saya gak pernah punya acara me time ala bujangers sejak punya momongan. Gak Pernah dan Gak Bisa. bukan gak pernah ditawari sama suami, tapi gak bisa. kalau kita mau refreshing, ya bertiga, gak bisa ditinggal satu satu, itu kalau judulnya ‘refreshing’ ya. Gak kebayang aja santai jalan jalan ke mall dan salon seharian tanpa kepikiran gimana bentuk rumah saya ketika ditinggal itu dan juga anak-anak. Jadi istri apalagi sudah menyandang status ‘ibu’ itu kan pressure-nya kerasa banget. Huuaahuhuaa.

Padahal iya, ada malam-malam harus ngerasa patah hati liat teman-teman masih bisa nyangklong tas ransel, pake toga (lagi), atau sekedar melancong di alam bebas, mendaki pegunungan. Kadang kadang itu terjadi kalau saya udah suntuk banget sama dunia perdapuran. Sementara –sekali lagi- ini pressure nya emak emak ya salah satunya di wilayah masak memasak.

Tapi ya sudahlah. Saya belajar baik baik buat jadi dewasa. 24 tahun toh gak bisa dibilang muda. 2 anak yang  nyaris dikeluarkan juga gak bisa dibilang manja. Saya Cuma merasa waktunya belajar gak baper lagi sama rumput orang lain, dalam hal apapun itu. Ngecek diri, memantaskan diri.

Kalau dulu iya, pinter banget ngajak berantem suami. Ah, paling juga baikan. Mana bisa sih lamaan berantem. Tapi belakangan saya ngerti manfaatnya gak lebih banyak dari mudhorotnya. Apalagi buat saya yang lagi belajar mengurangi baper ini.

Learn to love yourself. As well as learn to forgive yoursel.

Saya percaya proses menerima diri, lalu menahan diri, melapangkan hati, gak cari perkara (sama siapapun), dan yang utama adalah Bersabar akan keinginan keinginan kita akan berimbas pada kebaikan. Cieee... bijak amat.

Kenapa? Karena saya sudah menyiapakan... Ah bukan, saya sudah mencicipinya. Dari yang proses negatif sebagai perilaku saya lalu mengubah menjadi positif, rasanya beda. Nikmatnya beda! Hanya saja saya tidak bisa menerka kapan waktunya, kapan saya bisa petik buah dari perilaku positif itu. Toh, saya bukan orang kafir yang gak percaya bahwa syurga itu ada:D
Salam emak emak





Sabtu, September 19, 2015

Morning day


Akhirnya beres juga...

Pukul 09.04

Belum sempat duduk semenjak sebelum subuh menggema. Melayani di bocah yang baru aja sembuh dari sakit. Lagi lahap lahap nya makan, sementara kita nyaris kehabisan stok makanan. Wkwkwk

Setelah beres urusan belanja, masak sarapan, bersih bersih, mandiin anak, nyuapin anak sarapan, cuci baju, cuci piring, menjemur dan agenda dapur lainnya. Kini waktunya rehat, main sama anak, atau sekedar ajak jalan ia. Yah, sambil menunggu air menyala.

Apa daya setelah siap siap , malah menemukannya sudah tepar duluan menunggu ibundanya

Selasa, Agustus 11, 2015

Isi kepala


Urusan sosial media itu memang gak bisa terlepas dari urusan pamer dan dan main tunjukan. Bahkan ada yang buka sosmed nya cuma kalau lagi pengen pamer. Selebihnya, ia biarkan berdebu.

Nah, orang tidak mungkin pamer kalau niatnya bukan supaya orang lain iri. Wah... kejam nih, hihihi. Gak sih! Simple aja. Maksud saya itu... nanti saya jelas in maksud hati saya ya. Memang paling afdhol tenan itu ya mbah mbah kita zaman dulu atau orang kampungan yang gak punya sosmed. Gak kena firasat buruk orang orang bahwa ia suka pamer.

Orang yang kaya pamer uangnya (Gak mungkin dia pamer utangnya), orang yang single cantik/ganteng pamer selfie nya pake gaya yang uwow. Yang baru nikah pamer foto nikahnya, yang baru punya anak pamer foto anaknya, yang punya cucu. Yang suka musik ini pamer apa yang didengar, yang lagi bisnis juga pamer bisnisnya. Terus yang baru ke masjid pamer foto masjid nya, yang baru infaq pamer kotak amalnya (yeks..). Jiakaka... apa yang ada dibenak kalian? Segitu bahagianya hidup kalian bro? Atau segitu sedihnya hidup kamu sis? Dua pertanyaan itu pasti pernah terlintas di masing masing kepala. Sekarang masalahnya siapa yang punya kepala itu.

Nah, jadi itu maksud saya!

Tau?

Saya posting gini juga ada yang menggumam "pamer nih yeeee", "mentang-mentang..." duilee. Jangankan status saya yang abal- abal gini. Status ustadz, ilmuwan, yang nyata nyata pake ilmu dan hadist-hadist shohih aja banyak yang bilang pamer. Ada gitu?

Ada! Tergantung kepala. (Pikir sendiri yak kenapa ada yang bisa iri sama orang yang suka sharing agama atau kebaikan). Tapi disisi lain, status kebaikan itu punya nilai kebahagiaan dan manfaat buat orang lain. Sekali lagi, tergantung kepala.

Yah, ini mah ribet buat yang masih gak terima. Setiap orang masing masing punya pendapat dengan sisi sisi yang gak disukai orang lain, tapi ada sisi-siai lain yang bisa diterima orang lain. Terimalah!

Kalau gak bisa, diamlah. Tidur! Hehehe.

Orang posting foto pake cadar, ada yang komentar (atau ya cuma menggumam)
"Deuu, Astagfirullah... pamer, yang baru tobat. Baru dapat hidayah"

Tapi disisi lain ada yang komentar

"Subhanallah.. ukhti fulanah baru dapat hidayah. Wah, ana terinspirasi, hiks"

Nah, terlihat lah isi kepalanya. Padahal itu urusan hidayah. Begitu juga ketika ada yang posting tentang wedding misalnya.

"Huu... innalillahi nih si mbak, buka aurat wajah lagi cantik cantik (red: menor menor) gitu dipasang.

Disisi lain ada yang komentar
"Barakallahhu lakuma wa barokah alaik"

Heish... kelihatan kan isi kepalanya.

Gak papa, gak selalu salah. Kelihatan juga kan isi kepala saya mengjudge siapa. Saya gak bilang apa yang dikepala saya ini pasti benar. Bisa jadi ini proses pembenaran yang sebenarnya salah.

Bisa jadi selama ini saya suka ngomel ngomel sama yang suka pasang foto selfie cantik gara gara saya iri sama kecantikan mereka. Hahaha. Preet!

Walah... walah... bagi saya itu gak masalah. Karena sebenarnya apapun yang kamu tulis, kamu sharing, kamu upload, menunjukkan kamu sedang pamer isi kepala kamu.

Tapi yang paling penting. Saya masih mendukung kalau ada yang mau mengingatkan, menegur, apa apa yang melenceng. Ya udah tegur aja, " ukhti... menor banget, jangan dipasang fotonya. Ukhti, jangan dipasang itu gak pantas"

Betewe, betedong.. apa yang ada di kepala saya ini terinspirasi dari sebuah artikel yang barusan dishare teman saya. Intinya " saya memberikan asi ekslusif, tapi saya tidak merayakan pekan asi". Isi tulisan ini dibuat demi melindungi perasaan ibu ibu yang gak berhasil melaksanakan Asi ekslusif.

Lalu, diberanda hari ini pun, saya menemukan artikel yang bertolak belakang, intinya " saya tidak berhasil melaksanakan Asi ekslusif, tapi saya merayakan pekan asi"

Lho, jadi saya sebagai ibu yang sedang menyusui mendukung yang mana? Hehehe... Wah nanti ketahuan dong isi kepala saya, wkwkwk, Prett!

Saya pilih yang netral. Karena saya sendiri sedang dalam masa kritis menyusui di usia bayi 18 bulan. Saya akui perjuangannya ga main main. Lahir batin deh (untuk kondisi saya ya) Dan tiap hari pengen minta berhenti. Ibaratnya, kita lagi rewel.

Tapi masa kritis ini sudah berjalan 6 bulan, dan sampai sekarang bisa dilewati. Tersisa 6 bulan lagi. Beban terberat sih mental, fisik mungkin cuma 40% aja. Huhuhu (sedot ingus)

Menyerah sih ingin. Toh, ada banyak pembenaran di kepala saya. Banyak!!! Tapi saya pernah dapat nasihat dari tenaga medis yang pro ASI, "Di Alquran saja, sebuah nasihat dari awal zaman hingga akhir zaman,  Asi disebutkan 2 tahun, bukan kewajiban memang nilai 2 tahun itu. Tapi ilmu dalam alquran itu, penuh keajaiban yang kadang akal dan ilmu manusia belum sampai"

Ingat nasihat ini aja bisa sampai netes air mata.

Selasa, Agustus 04, 2015

Malam resah


Ada satu malam, dimana air mata saya menetes. Mengunjungi Sang pencipta sambil membayangkan wajah wajah orang yang dicintai. Menguatkan hati untuk setiap cerita cerita hidup baru yang silih berganti hadir. Bahagia dan sedih adalah satu paket yang diberi.

Lalu memandang dua wajah yang sedang terlelap, satu wajah kelelahan dan satu wajah polos tak terkira. Mencintai mereka begitu dalam tak terbayangkan dalam hidup, tapi juga menjadi alur yang sangat menakutkan. Bagaimana bagaimana, menjadi pertanyaan yang membingungkan dan tak ingin terjawab.

Mereka begitu sekejap hadir " begitu suara batin menggema". Baruu saja, tapi mengapa rasa melekat begitu kentara. Sebuah ikatan yang entah darimana membelenggu sehingga tak sanggup bila berjauhan. Padahal banyak pilihan hidup untuk lebih baik, ah tidak, setidaknya itu hanya dibenakku.

Maka, malam itu air mata ketulusan tumpah, memohon kemantapan hati atas setiap amanah barunya. Bahwa apa yang menjadi pilihan adalah nilai terbaik di sisiNya.

Semoga yang ada disekitar pun meyakini, mengikhlaskan, serta mau bahu membahu membangun sebuah istana di syurga. Meski di dunia kita akan bersusah payah lahir dan batin. Ah, susah payah itu hanya rasa bagi yang kurang bersyukur. Itu saja.

M-3,

Duhai, Allah... ketika detak jantungnya kurasa, tendangan halusnya menyapa, ada rasa rindu pun takut. Sebab ini rindu yang juga pernah kurasa, ini rasa takut dan khawatir yang pernah kumiliki jua. Masih terbayang bagaimana sakitnya, apakah semua akan jauh lebih mudah. Bagaimana bila, ah...

Minggu, Juli 26, 2015

Proses


Kapan pertama kali ketemu suami?

Hmm...

Kapan pastinya sebelum nikah saya lupa.

Mungkin sering ketemu tapi saya gak pernah sadar

Yang pasti, pertama kali ketemu, yang saya ingat, waktu ijab qobul, oh bukan, waktu foto untuk proses KUA. Masih ingeet, inget banget sama keringat dingin yang meluncur mulus di dahi...wkwkwk

Waiitt??? Seriuuus???

Huum...

Dan percaya deh, cinta kami datangnya setelah menikah, after married. Karena prosesnya yang amat singkat, padat, cepat dan ketat.

Tapi justru Allah gak main main sama urusan jodoh yang ikut aturannya.

2013

Februari awal : pertama kali saya di tawari menikah. Ditanya, sudah siap apa belum. Saya jawab, siap siap entahlaaaah.... tergantung calonnya. Hihihi

Februari akhir: saya di ajukan calonnya. Berpikir, beberapa waktu, sampai akhirnya meng iya kan

Maret pertengahan: Taaruf, sayangnya ada adegan tak diduga. Saya sakit perut mendadak. Daaann... yang ta'aruf beralih kepada orang tua. Saya masih ngira ini bercanda, sangking malunya.

April pertengahan : saya sudah di lamar, uwo...uwo...

Mei, tanggal 11 : we get married

Juni akhir: saya positif hamil, hitungan minggu.

2014

Februari (lagi) awal : buah cinta pertama lahir

2015

Februari (lagi) : saya positif hamil anak kedua

November mendatang : HPL

2 tahun, and its amazing....

Kadang kadang saya masih kaget. Masih  berasa mahasiswa. Atau bahkan, merasa baru lulus SMA. Padahal ( iya sih) udah tua, emak emak emak

Rabu, Juli 01, 2015

Love him


Andaikan saja, - dalam hal ini saya baru membayangkan saja -, saya mencoba marah dan tak berusaha menahan setiap uneg uneg untuk melampiaskan rasa kesal yang melanda,  apakah semua masalah akan selesai?

Pun kami, layaknya pasangan lain yang sudah tinggal satu atap, berdua membangun sebuah "rumah" sekaligus "tangganya", dan tentu nyaris mengenal sudah luar-dalam-samping kanan-kiri-atas-bawah, pernah -tentu saja- terbesit kesal untuk hal hal sepele. Huft... lalu, pertanyaan semacam itu - kalimat pertama tadi- keluar, bagaimana ya? Bagaimana?

Sudah berapa lama atap ini terbangun? Pondasi rumah kami? Baru saja? (Kami terhitung lama di LDR), atau sudah cukup beradaptasi untuk setiap masalah masalah baru yang hadir? Huft...

Kadang ketika merasa marah, saya tak pernah benar benar marah padanya, hanya terbesit lalu terbuang. Bukankah itu buruk? Saya cukup mengungkapkan rasa kecewa dengan cemberut. Lalu ketika ia sadar, ia akan melakukan sesuatu. Kejutan. Atau apapun yang memperbaiki mood istri nya. Hanya saja - sayangnya- tak ada juga ungkapan minta maaf. Puuunn... sebaliknya, itu juga yang saya lakukan ketika ia marah. Ia juga tak pernah benar benar marah. Tuk! Bagaimana bisa sih, kami benar benar bertemu sebagai jodoh dengan sifat yang amat sama seperti ini?

Tapi disisi lain, saya merasa kok,  Mmm... something wrong. Gak seharusnya seperti ini kan? Harusnya saya marah ya marah, sehingga dia minta maaf ya minta maaf, semua diungkapkan. Rasanya aneh, membiarkan sesuatu yang salah berjalan terus? Tunggu dulu, apa ini benar benar salah? Sampai saat ini, kami baik baik saja. Kadang ketika sudah merasa dimanja, saya ingin mengunggakapkan betapa saya sedang kesal padanya sebelum ini. Tapi sekali lagi, saya takut merusak suasana yang sedang manis.

Jadi, apa kami salah?

Misalkan,

Kadang kala, ketika saya sedang lelah, istirahat. Sementara sekecil yang sedang bermain dengan ayahnya. Lalu, ada kejadian tak menyenangkan, ia buang air besar tiba tiba ( training toilet yang belum sukses, sementara pampers sudah dilepas) terbayang betapa kotornya itu kan? Suami saya justru memilih membangunkan saya dibandingkan langsung membersihkannya. Meskipun saya dongkol sedongkol nya, saya tetap bangun, tetap membersihkannya ke wc dan mengepel rumah. Membiarkannya bermain kembali tanpa kata, dan cemberut.... lalu sore harinya, sebagai permintaan  maaf ada saja kejutan, jalan-jalan misalnya, Huft... dan saya memaafkan.

Atau

Saya sudah memasakkan makanan yang ia suka dengan -agak- susah payah misalkan. Tapi menemukan kenyataan, bahwa ternyata ia harus pulang larut malam. Saya bisa membayangkan ia makan diluar. Tak ada ungkapan marah atau apapun  Hanya saja mood saya hancur, ikut ikutan tak selera makan dan tidur tanpa menunggunya pulang. Ketika tengah malam, atau bahkan dini hari saya terbangun, saya menemukan rumah berantakan. Oh... Tapi tidak, itu membuat saya senang, saya menemukan meja makan kosong melompong, porsi sekian orang ia makan dalam sekali ( atau entahlah bagiamana), dan akhirnya - sekali lagi- saya memaafkan tanpa kata. Rasa itu, antara bahagia dan kelaparan, hagh..hagh...

Nah, begitulah...
Jika memang andaikata, saya mengungkapkan setiap kekesalan saya, mencoba menjelaskan betapa lelah dan kesalnya saya menjadi istrinya, menjadi ibu rumah tangga yang full-time-mother. Lalu, ia bertanya balik pada diri saya

"Lalu, apa yang kamu inginkan?"

Saya mungkin menjawab

"Ingin tetap seperti ini"

Benarkan? Layaknya tulisan ini. Hanya sebuah gerutuan tanpa arti :D

Love him

Ibu rumah tangga
Sidomulyo, Lampung Selatan

Love him


Andaikan saja, - dalam hal ini saya baru membayangkan saja -, saya mencoba marah dan tak berusaha menahan setiap uneg uneg untuk melampiaskan rasa kesal yang melanda,  apakah semua masalah akan selesai?

Pun kami, layaknya pasangan lain yang sudah tinggal satu atap, berdua membangun sebuah "rumah" sekaligus "tangganya", dan tentu nyaris mengenal sudah luar-dalam-samping kanan-kiri-atas-bawah, pernah -tentu saja- terbesit kesal untuk hal hal sepele. Huft... lalu, pertanyaan semacam itu - kalimat pertama tadi- keluar, bagaimana ya? Bagaimana?

Sudah berapa lama atap ini terbangun? Pondasi rumah kami? Baru saja? (Kami terhitung lama di LDR), atau sudah cukup beradaptasi untuk setiap masalah masalah baru yang hadir? Huft...

Kadang ketika merasa marah, saya tak pernah benar benar marah padanya, hanya terbesit lalu terbuang. Bukankah itu buruk? Saya cukup mengungkapkan rasa kecewa dengan cemberut. Lalu ketika ia sadar, ia akan melakukan sesuatu. Kejutan. Atau apapun yang memperbaiki mood istri nya. Hanya saja - sayangnya- tak ada juga ungkapan minta maaf. Puuunn... sebaliknya, itu juga yang saya lakukan ketika ia marah. Ia juga tak pernah benar benar marah. Tuk! Bagaimana bisa sih, kami benar benar bertemu sebagai jodoh dengan sifat yang amat sama seperti ini?

Tapi disisi lain, saya merasa kok,  Mmm... something wrong. Gak seharusnya seperti ini kan? Harusnya saya marah ya marah, sehingga dia minta maaf ya minta maaf, semua diungkapkan. Rasanya aneh, membiarkan sesuatu yang salah berjalan terus? Tunggu dulu, apa ini benar benar salah? Sampai saat ini, kami baik baik saja. Kadang ketika sudah merasa dimanja, saya ingin mengunggakapkan betapa saya sedang kesal padanya sebelum ini. Tapi sekali lagi, saya takut merusak suasana yang sedang manis.

Jadi, apa kami salah?

Misalkan,

Kadang kala, ketika saya sedang lelah, istirahat. Sementara sekecil yang sedang bermain dengan ayahnya. Lalu, ada kejadian tak menyenangkan, ia buang air besar tiba tiba ( training toilet yang belum sukses, sementara pampers sudah dilepas) terbayang betapa kotornya itu kan? Suami saya justru memilih membangunkan saya dibandingkan langsung membersihkannya. Meskipun saya dongkol sedongkol nya, saya tetap bangun, tetap membersihkannya ke wc dan mengepel rumah. Membiarkannya bermain kembali tanpa kata, dan cemberut.... lalu sore harinya, sebagai permintaan  maaf ada saja kejutan, jalan-jalan misalnya, Huft... dan saya memaafkan.

Atau

Saya sudah memasakkan makanan yang ia suka dengan -agak- susah payah misalkan. Tapi menemukan kenyataan, bahwa ternyata ia harus pulang larut malam. Saya bisa membayangkan ia makan diluar. Tak ada ungkapan marah atau apapun  Hanya saja mood saya hancur, ikut ikutan tak selera makan dan tidur tanpa menunggunya pulang. Ketika tengah malam, atau bahkan dini hari saya terbangun, saya menemukan rumah berantakan. Oh... Tapi tidak, itu membuat saya senang, saya menemukan meja makan kosong melompong, porsi sekian orang ia makan dalam sekali ( atau entahlah bagiamana), dan akhirnya - sekali lagi- saya memaafkan tanpa kata. Rasa itu, antara bahagia dan kelaparan, hagh..hagh...

Nah, begitulah...
Jika memang andaikata, saya mengungkapkan setiap kekesalan saya, mencoba menjelaskan betapa lelah dan kesalnya saya menjadi istrinya, menjadi ibu rumah tangga yang full-time-mother. Lalu, ia bertanya balik pada diri saya

"Lalu, apa yang kamu inginkan?"

Saya mungkin menjawab

"Ingin tetap seperti ini"

Benarkan? Layaknya tulisan ini. Hanya sebuah gerutuan tanpa arti :D

Love him

Ibu rumah tangga
Sidomulyo, Lampung Selatan

Senin, Juni 22, 2015

Second pregnancy


Lama sih sebenarnya pengen share tentang proses kehamilan itu. Dari kehamilan pertama mungkin, tapi ada saja alasan untuk mengulur, huhu. Ngefek atau gak ke orang lain saya gak tau, tapi rasanya pengen banget punya kenangan berupa catatan tentang dunia 9 bulan itu.

Pengennya memang tiap tahap, tapi MasyaAllah... ini udah udah kehamilan kedua, bahkan udah jalan 5 bulan. Telat bingit.. hihihi.

Tapi sudah lah, malam ini saya lagi pengen ngisi blog. Pas lagi tepar banget. Tapi teteup aja gak bisa tidur, padahal udah rebahan dari tadi.

Oke, my second pregnancy. Doakan ya, insyaallah november lahiran. Jeda sama si kakak farhan insyaallah 21 bulan. Ah.. apalah... apalah.

Sensasinya? Uwoow... kaget, senang plus panik. Gimana ya  si kakak masih kecil banget, masih lucu banget. Masih sangat butuh perhatian sekali.

Dan orang yang paling shock adalah: treng... treng... yap, jauzy. Nyebelin ya, Haha. Padahal udah direncanakan lama, begitu tau malah kaget. Harusnya kan baby blues nya ke saya. Wkwkwk.

Alhamdulillah, kalau yang lain mendukung aja. Ada sih, satu dua yang ikut ikutan shock dan kasihan. Tapi senangnya, banyak yang mendukung
"Alhamdulillah... Gak papa mbak, kan masih muda."

Wew... masih muda apanya coba #tepokjidat.

Nah, perbedaannya ada gak?
Adaaa... Tapi gak seberapa. Memang ya, anak pertama (apalagi cucu pertama) ternyata menjadi yang amat ditunggu, bahkan secara berlebihan, hihihi. Bisa bikin geleng geleng yang udah punya selusin, haha. Kalau yang kedua ini, gak terasa aja. Gak kalap juga. Udah 2 bulan baru mampir ke bidan  itu pun serius cuma mampir. Tau nya? Bahkan sebelum sebulan usia kandungan, ya maklum, masih keinget, kebayang , terasa sama yang hamil yang pertama. Tanda tandanya kan rata-rata sama. Tapi rasanya? Beda sikit lah, Mmm... hamil kedua lebih gak terasa dag dig dugnya. Meski rasanya, MasyaAllah, lebih capek ding. Saya baru tau rasanya derita ibu hamil ya pas yang kedua. Yang katanya pinggang kerasa mau patah, tulang sakit banget, parah sampai ada yang gak bisa bangun. Saya ngerasain semuanya, haaa 60 % lah.. Gak parah banget, tapi jauh lebih berat dari hamil pertama. Itu belum kalau ada adegan si kakak yang udah nyaris 10 kg, rewel buanget, minta gendong, rasanya? Uwoh... uwoh. Dan sebagai tambahan dramatisnya, hihihi. Hamil kedua ini ( Alhamdulillah) udah bertiga aja sama suami, tanpa lagi ada embel embel orang tua, saudara, mertua apalagi ART yang bantu. Dan karena saya lagi diajak mandiri, tinggal di pelosok kampung ( bukan di desa ya), rumah mewah pun masih nyumur, jadi tentu aja, ada agenda nimba sumur, yang dalamnya kurang lebih 20 meter, josh!
Tapi alhamdulillah, adegan ini juga udah mulai berkurang semenjak hamil, banyak an di handle sama suami. Kecuali dengan sangat sangat kepepet, pas suami kerja dan air stok habis banget, padahal perlu banget. Cuma sekali dua kali nimba, habis itu,.... tepar! itu belum Nyuci, masak, bersih rumah, ada halaman depan, samping, belakang, yang kalau pagi pagi nyapu dan beres, dari habis subuh sampai bisa jam 9. Uyuuuh (ini Gak ngeluh kok, cuma perasaan aja, wkwkwk)

Nah, bedanya sama hamil pertama? Yah, bisa dibayangkan sendiri lah, banyak yang manjain, hiks.. hiks. Tinggal tempat orang tua, dengan segala fasilitasnya. Saudara, teman, buanyaak.Kalau mau Nyuci tinggal muter mesin, kalau mau makan tinggal bilang, dsb. Makannya kebayang kan, kita bisa nyambi penelitian, plus skripsi. Bisa selesai ngebut, seminggu sebelum melahirkan, bisa sarjana. Yeee!

Dan Alhamdulillah, sampai sekarang saya masih belum menyapih si kakak. Masih di perjuangkan buat nursing while pregnant nya, bahkan pingin bingit sampai tandem nursing. Bisa puasa ramadhan juga dengan 3 tanggungan. Tapi untuk yang ini, lain kali aja saya cerita.

Meski penutupannya agak rancu, saya mau jujur aja, nulis segini saya lelah banget. Apalagi disambi menikmati pinggang dan kaki yang rewel ini. Plus si kakak yang emang lagi batpil dikit. Waah... saya gak kuat buat melanjutkan, Zzzzzz

Kamis, Juni 18, 2015

Wakakaka


Rencana :
Ba'da sholat tarawih pokoknya langsung beresin rumah, plus dapur, plus lagi, siap siapin buat sahur besok.
Waktu tidur, jam 10 malam, gak ada lagi acara buru buru sahur kayak semalam.
Nahh... jeda waktu sisa habis bersih bersih - waktu mau tidur, (dibayangan sejam an lah) dipake tilawah. Buka hp cuma 2-5 menit sebelum tidur.

Kenyataan : jam 11 malam baru selesai urusan dapur, hahaha...

Selasa, Juni 16, 2015

00.00


Malam sudah tampak larut. Pukul 23.36. Aku terbangun sejak 2 jam lalu. Setelah sholat isya aku ketiduran, mengikuti jejak si kecil yang sudah lelap sebelum adzan isya. Lalu mendapati ruang tengah berantakan, hasil karya jauzy. Cemilan, nasi, buah semuanya baru setengah makan dan ditinggal begitu saja. Sepulang isya, samar ketika masih mengantuk, aku mendengar ia dihubungi teman sejawat. Pengajian setelah itu ngobrol.

Akhirnya aku terbangun karna lapar mendera. Setelah makan (menyisakan untuk jauzy yang punya kebiasaan makan setelah urusan luar selesai, sekalipun itu tengah malam). Lalu bersih bersih rumah, berwudhu dan mengaji.

Aduh, menyenandungkan ayat alquran di tengah keheningan begini benar benar menyentuh. Tiba-tiba merasa ingin menangis dan ada debar berbeda meluap di hati. Ada sebuah kerinduan yang amat dalam untuk sebuah episode ramadhan. H-1.

Ini bukan ramadhan pertama berada di perantauan. Tapi ini akan jadi ramadhan pertama tanpa mudik. Hiks...

Duh, Bismillahirrohmanirrohim... kemarin kan udah dikuatkan sama jauzy. Tapi teteup aja sesak begitu mendekati sensasi ramadhan ini. Semoga dikuatkan, berkahNya juga tetep diraih.

Ini juga ramadhan pertama kita bakalan makan sahur plus buka puasa bertiga aja. Dulu dulu kalau merantau, ya selalu dalam keadaan rame. Yah, proses lah... proses. Ini kan hikmah dari sudah berkeluarga.

Tapi dari semua itu, semoga bisa full melaksanakan ramadhan. Memang ada kemudahan untuk para ibu menyusui dan hamil. Ahh... kita bagi tiga nutrisinya ya sayang. InsyaAllah pahalanya juga *elus elus si kakak yang masih Asi dan si Adek yang masih di perut.

Nah, sudah larut banget ini. Ngantuk belum juga hadir, tapi dari kejauhan udah dengar suara motor jauzy. Edisi curhatnya harus ditunda lain waktu.

Alhamdulillah

Ibu rumah tangga
Lampung selatan, sidomulyo

Minggu, Mei 31, 2015

24


Nah... di fase baru ini saya mau bilang, Alhamdulillah. Banyak-banyak syukur tak terkira. Pada Allah tempat memintaku, pada Rasul dan sahabat sebagai teladanku. Pada sosok sosok yang silih berganti hadir dalam hidupku, memberikan senyum, tangis, tawa dan lelah. Sosok sosok itu selalu berubah dari proses ke proses, dari episode satu ke episode lain.

Saya suka tutup muka merasa malu, mengingat ingat masa SMP yang masih lugu lugunya. Bahagia, menyenangkan, mengenangkan, tapi masih lugunya. Masih menyisakan kemanjaan ala anak anak yang butuh perhatian. Lalu SMA saya sudah mulai berproses, menyadari bahwa kemandirian itu penting, berusaha sekuat tenaga meninggalkan rasa manja yang menjadi bagian dari kebiasaan hidup. Beraat... saya ingat itu. Tapi jauh lebih berat proses pendewasaan di bangku kuliah. Prosesnya memakan banyak korban perasaan. Ada saja perasaan ingin menyerah. Saya benar benar merutuki masalah masalah yang hadir karena semakin banyak terjalnya. Berkelok kelok dan kadang tersesat. Hikmahnya seperti saya petik selangkah dua langkah saja. Selebihnya, saya sering terpukul oleh banyaknya amanah dan masalah. Fase Setelahnya, yakni menikah ,adalah proses yang tak kalah beratnya. Tapi di momen inilah saya jauh lebih bersahabat. Langkah saya jauh lebih mantap. Airmata yang mengalir sebanding dengan mengalirnya hikmah, benar... kalau dibuat novel mah, saya belum sanggup sangking banyaknya hikmah yang terisi dikepala saya (gak sesuai sama kemampuan saya, hi).

Dan proses ini belum selesai sampai detik saya menjadi 24th ini. Saya tau, saya mengerti, ini bukan usia yang muda. Menjadi labil, dan menangis adalah hal biasa kalau kita sudah sampai tahap ini, tapi ini sebanding lurus sama rasa syukur kita tiap bersujud. Pokoknya luar biasa. Luar biasa karena saya merasa berproses jauh lebih kuat, lebih stabil, lebih sabar dan lebih menikmati hidup. Saya mah masih belajar, jadi bukan berarti kekuatan saya itu menjadikan saya sang superwomen, supermom, superwife, Nooo!!!!

Fase menjadi ibu, hiks.
Saya gak menyangka, akhirnya penyemangat saya muncul. Dia seperti hero hero dalam film kepahlawanan yang muncul di klimaks plot yang sedang dalam masa keputusasaan. Karena cuma hadir nya saja, saya bisa benar benar merasa hidup. Saya benar benar bergumam setiap saat. "Oh... so its the real life". Padahal mah belom. Wkwk. Lalu sesaat aja, saya bisa merasa pengen punya banyak. Iya, pengen punya banyak hero. Jiakaka.

Tapi proses ini membuat saya jadi merasa, Mmm...."manusia banget". Oh
. Entahlah... kalau saya suka ngisengin yang muda, itu karena saya sudah pernah pada proses tersebut, iya, proses waktu masih muda (jadi merasa tua banget). Ngebully Adek, nggodain yang jomblo, ngerjain yang lagi heboh skripsi, nggombalin yang gemesan sama bayi, ngehitung tanggal tua, etc . itu semata karena sisi lain saya yang usil.

Pokoknya 24th belum apa apa. Tahun depan 25th (Alhamdulillah, kalau sampai ya :p ) baru lah yang kencangkan ikat kepala. Sekarang udah pasang, tapi masih longgar. Tahun depan (lagi-lagi kalau sampai) sudah harus musnah sifat manja dan jauh lebih mandiri. Apalagi kalau sudah 2 atau bahkan 3 pasang tangan
menggelanyot manja pada saya. Itu artinya  ini misi diproses 24th.

semua ibu baru (Saya curhat dulu ya), pasti pernah mengalami hal ini kan. Galau saja terbawa suasana. Apalagi kalau senior kita yang sudah sangat amat sangat senior (ngerti kan maksudnya) buka suara dan aksi. Hari pertama melahirkan sudah disodori sufor, hari hari menyabarkan di 6 bulan asi ekslusif ada Aja yang gemes pengen kasih Mpasi duluan, cibiran halus juga ngena waktunya perjuangan MPASI, "masa, makanan anaknya hambar banget, emaknya  pelit banget gak mau kasih gulgar, terlalu phobia".
"teruus... si anak kok proses merangkaknya, jalannya, lambat banget T_T (mirip emak bapaknya), yang lain 7 bulan udah jalan, 8 bulan udah lari" #hedehh.
"Anaknya kurusan sekarang, tambah hitam lagi, ihhh, emaknya pelit ya kasih makan" #hedehhedeh.
Ada lagi komentar  "Supaya gak bosen, supaya update sambil ngemong, sambil menyusui, pegang gadget dong" #hedehhedehhedehhedeh
Tapi yang paling keren dan mempesona adalah nasihat ini
"Udah dik, abaikan komentar sumbang disekitarmu. Percaya aja sama naluri keibuan kamu" #yess

Ya Allah, Ya Robbi, tapi sampai sini gak mengurangi rasa syukur saya sepeser pun kok, atas apapun, atas takdir yang manapun, meskipun dan meskipun, masalah ini belum ada apa apanya sama masalah masalah didepan. Masih banyak jejak galau yang harus saya beresin sebagai pemula ini. Sakitnya si anak kalau lagi kena demam, flu, batuk yang ngajakin bergadang, NWP yang ternyata gak mudah mudah banget, belum lagi menghitung bulan dan persiapan menyapih yang pake rumus WWL. Wow... amazing banget. Tapi syukur, bahagia dan sabar jadi teman baik selama ini, biar gak keteteran apa yang namanya butuh proses itu

Well done, terakhir... sebagai wujud bahagia saya , ada yang pengen saya ingatkan. Pernah gak sih, pernah tidak merasa takjub setakjub takjub nya kita akhirnya bisa melewati semua rasa takut kita ini. Buat saya aja yang sudah melewati 24th. Duluu yang ketakutan menghadapi banyak hal, pertama kali jadi kakak, pertama kali masuk sekolah, pertama kali masuk asrama, pertama kali jauh dari orang tua, pertama kali ketemu teman kuliah, pertama kali ngadepin dosen, dan pertama tama nya, yang ternyata Alhamdulillah kita lewati hingga saat ini. Meskipun dilewatinya dengan sangat dilematis, penuh air mata dan pengorbanan, tapi toh kita berhasil. Gak ada kepikiran apalagi nekat sampai pengen terjun dari jembatan mahakam untuk mengakhiri semua masalah. Padahal kita pernah menghadapi nyaris rasa putus asa. Di ranjang, menangis tersedu sedu, melempar apapun yang ada dijangkauan, atau marah pada siapapun yang mendekat. Wahh.. ternyata semuanya hanya proses, dan kebutuhan untuk mendalami dan memahami proses menjadi dewasa. Itu saja. Alhamdulillah ala kulli hal.

Ttd
Ibu rumah tangga

Selasa, Maret 03, 2015

Selfie


#empet

"Bukannya sedang dalam proses ya, kok masih suka selfie gitu sih. Plus gaya gaya mencle menclenya masih dipake, ayo dong,, yang anggun ukhti... yang anggun. Jaga wibawa kamu, muslimah kan? Jadi kan cantikmu untuk yang terkhusus buat suami kamu nanti,..."

"Kan masih proses. Belum ada yang ngelarang.. belum akad jeng. Hehehe."

"Oh... jadi masih "for sale" gitu yaa?"

#uhk...

Maaf kalau ada yg tersinggung ya, tapi niatnya memang untuk menyinggung. Alias menasihati tidak secara langsung. Tak apa, semua orang butuh berproses, termasuk saya, dari yang gak tau jadi faham. Asal... ketika sudah tau ilmunya, sudah faham bahayanya, langsung diikhtiarkan. Jangan nunggu 'kejeduk' baru sadar sayang.

Kamis, Februari 19, 2015

Wedding day


Pernikahan kalian sempurna?
Atau bagi yang belum menikah? Pernikahan sempurna seperti apa yang kalian harapkan.?

Kita tak pernah benar benar puas dengan acara pernikahan kita...
Tapi kita juga tak pernah benar benar menyesal dengan acara pernikahan tersebut...

Ada yang menyesal karena pernikahannya tak bisa semegah yang ia bayangkan
Ada yang menyesal karena pernikahannya tak sekreatif yang ia inginkan
Pun ada yg menyesal karena pernikahannya tak seislami yang ia rindukan, sebab bertabur lagu jahiliyah, make up yang tebal, baju yang tak menutup aurat.

Pernah membayangkan bagaimana acara jamuan pernikahan Nabi Alaihisalam  dan para sahabat Rodhiyallahuanhu? Semegah apa? Sekhusyuk apa?

Tapi dari sekian penyesalan, bersyukurlah pada doa doa para hadirin yang mengharap keberkahan atas pernikahan kalian. Sebab adanya laki laki yang dikirim Allah untuk menyempurnakan dien mu dan menggandengmu menuju syurga bukan sekedar mencintaimu dengan nafsu atas kecantikan dirimu, keelokan tubuhmu, keindahan suaramu, dan pilihan duniawi lainnya, maka bersyukurlah. Semoga keberkahan atas pernikahan kita tetap terjaga.

Senin, Februari 16, 2015

Menyerah


Sudah beberapa kali pikiran menyerah itu terlintas, tapi kemudian pupus dalam hitungan jam. Seperti itulah perempuan merasa. Setan seperti tak henti hentinya menyiram minyak dalam api amarah ini. Selalu mampu kau redamkan...
Kenapa pikiran pikiran picik ini muncul menyerah. Sungguh aku takut ia datang  di saat yang tak tepat.
Bahkan setiap hikmah yang hadir atas setiap kesabaran dan rasa syukur yg kita miliki, pernah sempat pupus dalam hati dan membuat kita rapuh.
Sungguh, andai cinta ini bukan karena Allah, andai rasa cinta hadir bukan karena Allah yg menghadirkan, pasti aku sudah menyerah. Tapi Allah Maha Kuasa, Maha mencintai, dan mengembalikan rasa cinta itu disaat yang tepat. Aku tahu betapa beruntungnya Allah menetapkan diriku sepertimu, betapa peruntungannya dicintai dirimu dan betapa beruntungnya mencintaimu.

Jumat, Februari 06, 2015

Satu Tahun


Bismillah...

Walhamdulillah...

Genap setahun sudah.

Menjadi orang tua dan tertatih tatih. Belajar dan terus berjalan hingga kelak mampu berlari.

Tak ada kata-kata yang mampu mewakili derasnya rasa bahagia yang kami miliki. Setiap untaian doa yang terucap dalam benak kami, semoga menjadi saksi rasa syukur atas karunia Allah.

Semoga Allah menetapkan takdir yang baik untukmu nak, hingga kini, hingga kelak, hingga waktu yang terbatas. Menjadikanmu salah satu jajaran dari anak anak sholeh yang mempu mempertemukan kita semua di syurga, juga menjadi jalan terbaik untuk ayah dan bunda di akhirat kelak, Amiin.

Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)

Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)

Farhan Burhanul Fajri, Barokallah fii umrik, ya bunayya.

Ayah & Bunda

Rabu, Januari 28, 2015

Takdir


Baru sebulan, well manisnya sampai ke ubun ubun #weksslebayy..
Lalu percakapan semalam milik suami dan sahabatnya lewat telpon menggoyahkan hati.
Percakapan itu saling terhubung dengan permintaan suami beberapa waktu lalu tentang keinginannya untuk bisa tallaqi di negri para Rasul.
"Mumpung ada kesempatan," ujarnya.
Tentu saja aku menolak. Bayangkan, kita bahkan baru sebulan bisa bersama, jauh lebih banyak waktu yg dihabiskan untuk berpisah. Dan harus diakui, memiliki bayi, lalu LDR dijalani, itu sulit.
Tapi begitulah, percakapan semalam yang tak sengaja terdengar membuatku memikirkannya lebih jauh lagi.

"Pengennya yang di mekkah syeikh, soalnya.. bla...bla..."
"Apapun itu, saya doakan yg terbaik untuk antum,"
"Lha, antum gak menyusul?"
"Ana masih berat syeikh, maklum anak dan istri"
"Sama saja, memang itulah perjuangannya,"
"Tapi setidaknya istri antum sudah ikhlas ya"
"Ikhlas dan didampingi air mata pastinya, anak ana juga masih bayi syeikh, ana bahkan merencanakan untuk membiarkan istri dan anak pulang ke rumah mertua. Kasihan kalau harus sendirian di rumah,"

Sampai disini aku tertegun. Ada sebuah kerelaan terbuka kecil, sangat kecil. Masih jauh lebih tak rela.

"Saya juga sebenarnya ingin sekali, siapa sih yang tak tergiur dan memiliki keinginan untuk menimba ilmu langsung dengan para syeikh besar di masjidil haram. Belum lagi diiming imingi umroh dan haji, MasyaAllah, rinduu rasanya hati syeikh. Tapi masalah pekerjaan, ana masih berat, belum sreg, belum lagi istri dan anak. Semoga... semoga di lain kesempatan ana pun bisa merasakannya"

Suami menjelaskan detil. Sekalipun jawabannya menjelaskan bahwa ia pun tak pernah memaksaku, apalagi sampai dua kali meminta. Ia tak pernah melakukannya. Sama seperti ketika dulu ia memintaku bercadar, selepas dipandang lelaki. Aku terdiam dan ia menjelaskan, bahwa permintaannya bukanlah paksaan. Seolah membiarkanku berpikir saja.

Bagian yang ini aku tersentuh. Sebab ini terkait mimpi, mimpi kami berdua. Takdir oh takdir...
Di saat teman2 puas menimba ilmu, aku terpuaskan oleh kesibukan melayani suami dan anak kami. Disaat teman2 berkeliaran di bumi Allah, aku sibuk membersihkan dapur dan rumahku. Begitu pun suami. Kami hanya bisa tergiur oleh cerita cerita kawan kami. Lalu, aku kembali bertanya, pada hati yg terdalam. Kenapa kita menikah lebih dulu,? Untuk apa? Pertanyaan itu seperti memiliki makna jawaban sendiri, labih dalam. Seperti... biarkanlah.

Sebulan


Bismillah... mewakili hati, menggores tinta.

Sebulan berlalu. Rasa sudah tersemai dengan baik. Mimpi mimpi yang dulu tertera sejak sebelum menikah terlampiaskan sudah. Belum semua, tapi hingga tahapan ini semuanya jauhhh lebih baik. Bisa merawat dengan baik buah hati bersama suami, mendengar lagi suara merdunya suami mengumandankan ayat Allah, memasakkan makanan, menyambut suami pulang kerja disertai tawa riang si kecil, di baiti jannati sederhana ini. Alhamdulillah.

Baru sebulan, atau sudah sebulan...

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men