Rabu, Januari 28, 2015

Takdir


Baru sebulan, well manisnya sampai ke ubun ubun #weksslebayy..
Lalu percakapan semalam milik suami dan sahabatnya lewat telpon menggoyahkan hati.
Percakapan itu saling terhubung dengan permintaan suami beberapa waktu lalu tentang keinginannya untuk bisa tallaqi di negri para Rasul.
"Mumpung ada kesempatan," ujarnya.
Tentu saja aku menolak. Bayangkan, kita bahkan baru sebulan bisa bersama, jauh lebih banyak waktu yg dihabiskan untuk berpisah. Dan harus diakui, memiliki bayi, lalu LDR dijalani, itu sulit.
Tapi begitulah, percakapan semalam yang tak sengaja terdengar membuatku memikirkannya lebih jauh lagi.

"Pengennya yang di mekkah syeikh, soalnya.. bla...bla..."
"Apapun itu, saya doakan yg terbaik untuk antum,"
"Lha, antum gak menyusul?"
"Ana masih berat syeikh, maklum anak dan istri"
"Sama saja, memang itulah perjuangannya,"
"Tapi setidaknya istri antum sudah ikhlas ya"
"Ikhlas dan didampingi air mata pastinya, anak ana juga masih bayi syeikh, ana bahkan merencanakan untuk membiarkan istri dan anak pulang ke rumah mertua. Kasihan kalau harus sendirian di rumah,"

Sampai disini aku tertegun. Ada sebuah kerelaan terbuka kecil, sangat kecil. Masih jauh lebih tak rela.

"Saya juga sebenarnya ingin sekali, siapa sih yang tak tergiur dan memiliki keinginan untuk menimba ilmu langsung dengan para syeikh besar di masjidil haram. Belum lagi diiming imingi umroh dan haji, MasyaAllah, rinduu rasanya hati syeikh. Tapi masalah pekerjaan, ana masih berat, belum sreg, belum lagi istri dan anak. Semoga... semoga di lain kesempatan ana pun bisa merasakannya"

Suami menjelaskan detil. Sekalipun jawabannya menjelaskan bahwa ia pun tak pernah memaksaku, apalagi sampai dua kali meminta. Ia tak pernah melakukannya. Sama seperti ketika dulu ia memintaku bercadar, selepas dipandang lelaki. Aku terdiam dan ia menjelaskan, bahwa permintaannya bukanlah paksaan. Seolah membiarkanku berpikir saja.

Bagian yang ini aku tersentuh. Sebab ini terkait mimpi, mimpi kami berdua. Takdir oh takdir...
Di saat teman2 puas menimba ilmu, aku terpuaskan oleh kesibukan melayani suami dan anak kami. Disaat teman2 berkeliaran di bumi Allah, aku sibuk membersihkan dapur dan rumahku. Begitu pun suami. Kami hanya bisa tergiur oleh cerita cerita kawan kami. Lalu, aku kembali bertanya, pada hati yg terdalam. Kenapa kita menikah lebih dulu,? Untuk apa? Pertanyaan itu seperti memiliki makna jawaban sendiri, labih dalam. Seperti... biarkanlah.

Sebulan


Bismillah... mewakili hati, menggores tinta.

Sebulan berlalu. Rasa sudah tersemai dengan baik. Mimpi mimpi yang dulu tertera sejak sebelum menikah terlampiaskan sudah. Belum semua, tapi hingga tahapan ini semuanya jauhhh lebih baik. Bisa merawat dengan baik buah hati bersama suami, mendengar lagi suara merdunya suami mengumandankan ayat Allah, memasakkan makanan, menyambut suami pulang kerja disertai tawa riang si kecil, di baiti jannati sederhana ini. Alhamdulillah.

Baru sebulan, atau sudah sebulan...

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men