Minggu, Juli 26, 2015

Proses


Kapan pertama kali ketemu suami?

Hmm...

Kapan pastinya sebelum nikah saya lupa.

Mungkin sering ketemu tapi saya gak pernah sadar

Yang pasti, pertama kali ketemu, yang saya ingat, waktu ijab qobul, oh bukan, waktu foto untuk proses KUA. Masih ingeet, inget banget sama keringat dingin yang meluncur mulus di dahi...wkwkwk

Waiitt??? Seriuuus???

Huum...

Dan percaya deh, cinta kami datangnya setelah menikah, after married. Karena prosesnya yang amat singkat, padat, cepat dan ketat.

Tapi justru Allah gak main main sama urusan jodoh yang ikut aturannya.

2013

Februari awal : pertama kali saya di tawari menikah. Ditanya, sudah siap apa belum. Saya jawab, siap siap entahlaaaah.... tergantung calonnya. Hihihi

Februari akhir: saya di ajukan calonnya. Berpikir, beberapa waktu, sampai akhirnya meng iya kan

Maret pertengahan: Taaruf, sayangnya ada adegan tak diduga. Saya sakit perut mendadak. Daaann... yang ta'aruf beralih kepada orang tua. Saya masih ngira ini bercanda, sangking malunya.

April pertengahan : saya sudah di lamar, uwo...uwo...

Mei, tanggal 11 : we get married

Juni akhir: saya positif hamil, hitungan minggu.

2014

Februari (lagi) awal : buah cinta pertama lahir

2015

Februari (lagi) : saya positif hamil anak kedua

November mendatang : HPL

2 tahun, and its amazing....

Kadang kadang saya masih kaget. Masih  berasa mahasiswa. Atau bahkan, merasa baru lulus SMA. Padahal ( iya sih) udah tua, emak emak emak

Rabu, Juli 01, 2015

Love him


Andaikan saja, - dalam hal ini saya baru membayangkan saja -, saya mencoba marah dan tak berusaha menahan setiap uneg uneg untuk melampiaskan rasa kesal yang melanda,  apakah semua masalah akan selesai?

Pun kami, layaknya pasangan lain yang sudah tinggal satu atap, berdua membangun sebuah "rumah" sekaligus "tangganya", dan tentu nyaris mengenal sudah luar-dalam-samping kanan-kiri-atas-bawah, pernah -tentu saja- terbesit kesal untuk hal hal sepele. Huft... lalu, pertanyaan semacam itu - kalimat pertama tadi- keluar, bagaimana ya? Bagaimana?

Sudah berapa lama atap ini terbangun? Pondasi rumah kami? Baru saja? (Kami terhitung lama di LDR), atau sudah cukup beradaptasi untuk setiap masalah masalah baru yang hadir? Huft...

Kadang ketika merasa marah, saya tak pernah benar benar marah padanya, hanya terbesit lalu terbuang. Bukankah itu buruk? Saya cukup mengungkapkan rasa kecewa dengan cemberut. Lalu ketika ia sadar, ia akan melakukan sesuatu. Kejutan. Atau apapun yang memperbaiki mood istri nya. Hanya saja - sayangnya- tak ada juga ungkapan minta maaf. Puuunn... sebaliknya, itu juga yang saya lakukan ketika ia marah. Ia juga tak pernah benar benar marah. Tuk! Bagaimana bisa sih, kami benar benar bertemu sebagai jodoh dengan sifat yang amat sama seperti ini?

Tapi disisi lain, saya merasa kok,  Mmm... something wrong. Gak seharusnya seperti ini kan? Harusnya saya marah ya marah, sehingga dia minta maaf ya minta maaf, semua diungkapkan. Rasanya aneh, membiarkan sesuatu yang salah berjalan terus? Tunggu dulu, apa ini benar benar salah? Sampai saat ini, kami baik baik saja. Kadang ketika sudah merasa dimanja, saya ingin mengunggakapkan betapa saya sedang kesal padanya sebelum ini. Tapi sekali lagi, saya takut merusak suasana yang sedang manis.

Jadi, apa kami salah?

Misalkan,

Kadang kala, ketika saya sedang lelah, istirahat. Sementara sekecil yang sedang bermain dengan ayahnya. Lalu, ada kejadian tak menyenangkan, ia buang air besar tiba tiba ( training toilet yang belum sukses, sementara pampers sudah dilepas) terbayang betapa kotornya itu kan? Suami saya justru memilih membangunkan saya dibandingkan langsung membersihkannya. Meskipun saya dongkol sedongkol nya, saya tetap bangun, tetap membersihkannya ke wc dan mengepel rumah. Membiarkannya bermain kembali tanpa kata, dan cemberut.... lalu sore harinya, sebagai permintaan  maaf ada saja kejutan, jalan-jalan misalnya, Huft... dan saya memaafkan.

Atau

Saya sudah memasakkan makanan yang ia suka dengan -agak- susah payah misalkan. Tapi menemukan kenyataan, bahwa ternyata ia harus pulang larut malam. Saya bisa membayangkan ia makan diluar. Tak ada ungkapan marah atau apapun  Hanya saja mood saya hancur, ikut ikutan tak selera makan dan tidur tanpa menunggunya pulang. Ketika tengah malam, atau bahkan dini hari saya terbangun, saya menemukan rumah berantakan. Oh... Tapi tidak, itu membuat saya senang, saya menemukan meja makan kosong melompong, porsi sekian orang ia makan dalam sekali ( atau entahlah bagiamana), dan akhirnya - sekali lagi- saya memaafkan tanpa kata. Rasa itu, antara bahagia dan kelaparan, hagh..hagh...

Nah, begitulah...
Jika memang andaikata, saya mengungkapkan setiap kekesalan saya, mencoba menjelaskan betapa lelah dan kesalnya saya menjadi istrinya, menjadi ibu rumah tangga yang full-time-mother. Lalu, ia bertanya balik pada diri saya

"Lalu, apa yang kamu inginkan?"

Saya mungkin menjawab

"Ingin tetap seperti ini"

Benarkan? Layaknya tulisan ini. Hanya sebuah gerutuan tanpa arti :D

Love him

Ibu rumah tangga
Sidomulyo, Lampung Selatan

Love him


Andaikan saja, - dalam hal ini saya baru membayangkan saja -, saya mencoba marah dan tak berusaha menahan setiap uneg uneg untuk melampiaskan rasa kesal yang melanda,  apakah semua masalah akan selesai?

Pun kami, layaknya pasangan lain yang sudah tinggal satu atap, berdua membangun sebuah "rumah" sekaligus "tangganya", dan tentu nyaris mengenal sudah luar-dalam-samping kanan-kiri-atas-bawah, pernah -tentu saja- terbesit kesal untuk hal hal sepele. Huft... lalu, pertanyaan semacam itu - kalimat pertama tadi- keluar, bagaimana ya? Bagaimana?

Sudah berapa lama atap ini terbangun? Pondasi rumah kami? Baru saja? (Kami terhitung lama di LDR), atau sudah cukup beradaptasi untuk setiap masalah masalah baru yang hadir? Huft...

Kadang ketika merasa marah, saya tak pernah benar benar marah padanya, hanya terbesit lalu terbuang. Bukankah itu buruk? Saya cukup mengungkapkan rasa kecewa dengan cemberut. Lalu ketika ia sadar, ia akan melakukan sesuatu. Kejutan. Atau apapun yang memperbaiki mood istri nya. Hanya saja - sayangnya- tak ada juga ungkapan minta maaf. Puuunn... sebaliknya, itu juga yang saya lakukan ketika ia marah. Ia juga tak pernah benar benar marah. Tuk! Bagaimana bisa sih, kami benar benar bertemu sebagai jodoh dengan sifat yang amat sama seperti ini?

Tapi disisi lain, saya merasa kok,  Mmm... something wrong. Gak seharusnya seperti ini kan? Harusnya saya marah ya marah, sehingga dia minta maaf ya minta maaf, semua diungkapkan. Rasanya aneh, membiarkan sesuatu yang salah berjalan terus? Tunggu dulu, apa ini benar benar salah? Sampai saat ini, kami baik baik saja. Kadang ketika sudah merasa dimanja, saya ingin mengunggakapkan betapa saya sedang kesal padanya sebelum ini. Tapi sekali lagi, saya takut merusak suasana yang sedang manis.

Jadi, apa kami salah?

Misalkan,

Kadang kala, ketika saya sedang lelah, istirahat. Sementara sekecil yang sedang bermain dengan ayahnya. Lalu, ada kejadian tak menyenangkan, ia buang air besar tiba tiba ( training toilet yang belum sukses, sementara pampers sudah dilepas) terbayang betapa kotornya itu kan? Suami saya justru memilih membangunkan saya dibandingkan langsung membersihkannya. Meskipun saya dongkol sedongkol nya, saya tetap bangun, tetap membersihkannya ke wc dan mengepel rumah. Membiarkannya bermain kembali tanpa kata, dan cemberut.... lalu sore harinya, sebagai permintaan  maaf ada saja kejutan, jalan-jalan misalnya, Huft... dan saya memaafkan.

Atau

Saya sudah memasakkan makanan yang ia suka dengan -agak- susah payah misalkan. Tapi menemukan kenyataan, bahwa ternyata ia harus pulang larut malam. Saya bisa membayangkan ia makan diluar. Tak ada ungkapan marah atau apapun  Hanya saja mood saya hancur, ikut ikutan tak selera makan dan tidur tanpa menunggunya pulang. Ketika tengah malam, atau bahkan dini hari saya terbangun, saya menemukan rumah berantakan. Oh... Tapi tidak, itu membuat saya senang, saya menemukan meja makan kosong melompong, porsi sekian orang ia makan dalam sekali ( atau entahlah bagiamana), dan akhirnya - sekali lagi- saya memaafkan tanpa kata. Rasa itu, antara bahagia dan kelaparan, hagh..hagh...

Nah, begitulah...
Jika memang andaikata, saya mengungkapkan setiap kekesalan saya, mencoba menjelaskan betapa lelah dan kesalnya saya menjadi istrinya, menjadi ibu rumah tangga yang full-time-mother. Lalu, ia bertanya balik pada diri saya

"Lalu, apa yang kamu inginkan?"

Saya mungkin menjawab

"Ingin tetap seperti ini"

Benarkan? Layaknya tulisan ini. Hanya sebuah gerutuan tanpa arti :D

Love him

Ibu rumah tangga
Sidomulyo, Lampung Selatan

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men