Selasa, November 24, 2015

New habit episode 1


Banyak sekali kebiasaan baru yang hadir di dua minggu terakhir ini. Tepatnya setelah lahirnya penghuni baru rumah kami ini. The second prince our abdurrahman fatih al-Fakhry.

Beberapa diantaranya adalah episode di malam hari. Yap! Tidur.

Kami berdua akhirnya memutuskan untuk memisahkan kamar anak anak sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Berbagi tugas dimana saya menghandle si adik dan sang ayah menghandle si abang.

Tentu itu menjadi something new buat saya, tapi bagian paling dramatisnya tentu buat si abang. Sejak malam kedua dia menyadari bakal ada yang berubah, disitulah amukan dimulai, dia mulai ngalem.

Bersyukurnya suami mau diajak kompromi masalah mengurus anak ini. Biasanya??? Oalaaah... No!

Mulai dari urusan menidurkan(Ngeloni), mengompol, bikin susu sampai masalah tidak nyamannya tidur karena panas atau sebagainya, biasanya si ayah tetap nyenyak tidur diantara tangisan si bayi.

Tapi sekarang, mau tak mau, suka tak suka, semua harus berubah. Dan terbentuklah 'new habit' di rumah kami. Usaha sang ayah ini 75% berhasil. Lho? Hanya 75%?

Huum

Karena ayah tetaplah ayah...

Ada saatnya ditengah malam, bahkan ketika si abang menangis jerat jerit disampingnya, sang ayah tetap tidur pulas, entah pura pura atau sangking ngantuknya. Dan itu membuat saya harus wara wiri dari kamar satu ke kamar lain. Pasalnya, saya PASTI bergadang.

Kadang urusannya sepele. Setelah diganti celana popoknya, atau kasih si anak minum, dia bisa kembali pulas. Meskipun kadang, ada saja adegan minta dikeloni ulang yang artinya memakan waktu dan terpaksa meninggalkan si adik di kamar sendirian.

'New habit' ini tentu gk mudah untuk setiap personalnya. Justru yang paling mudah adalah saya sendiri. Karena -tentu saja- saya sudah terbiasa diganggu tidurnya selama setahun lebih -nyaris dua tahun- dan akan masih terus berlanjut. Justru berat untuk personal yang lain (kita mengabaikan si newborn ya). Meski begitu, saya menahan diri untuk gak bilang ke suami "tuh... beratnya apa yang saya jalani selama ini, kami akhirnya ngerasain kan?, hihihi". Noooo! 75% usaha suami itu tadi akan saya hargai. Karena bayangkan jika saya mengurus keduanya dalam satu waktu.

Well,

Ibu tetaplah ibu...

Saya sendiri agak kesusahan adaptasi. Setelah drama menyapih yang baru berjalan dua bulan yang lalu. Sekarang pisah kamar. 'New habit' ini agaknya membuat saya baper. Sungguh!

'What if' nya, saya pengen seperti dulu, bisa menjadi 'the one' di hati si abang. Tapi secara teori saya sadar betul ini proses pendewasaan juga. Meski ia tak benar benar dewasa. Belum dewasa tepatnya. Tapi ini adalah bagian dari proses. Termasuk belajar mengendalikan perasaan saya yang makin mello. Lihat saja bagaimana akhirnya setelah menikah, kami harus meninggalkan orang tua di tanah perantauan. Kelihatannya dewasa, tapi...

Ibu tetaplah ibu...

Saya tahu bagaimana bapernya itu. Setiap wanita... setiap ibu, tahu itu...

Jadi sebenarnya, saya lah yang butuh belajar. . .

Selasa, November 17, 2015

Persalinan kedua part 2



10 November 2015

Hari selasa, pukul 00.00,

Waktu terasa berjalan lambaaat sekali. Rasa sakit itu sudah semakin menjadi jadi,tapi bidan bilang baru akan mengecek pukul 3 dini hari menjelang. Sementara suami sudah pulas tidur, saya memutuskan untuk mendengarkan murottal alih alih menyiapkan hypnobrithing. Pada intinya saya bertawakal saja pada Allah.

Pukul satu dini hari, saya kehausan tapi tak kuat berdiri untuk mengambil minum. Perlahan air mata saya menetes. Duh, Ya Allah... rasanya melahirkan tanpa ada keluarga itu luar biasa. Kelahiran pertama pun, suami juga tidur terlelap dangan kasus yang sama; baru pulang dari luar kota, dan baru terbangun saat mendengar tangisan bayi yang baru lahir, tapi kala itu ada keluarga saya menemani.

Saya panggil suami saya yang sedang terlelap. Bebarapa kali, susah karena ia terlalu lelap. Ketika terbangun dan mendapati saya bercucuran air mata kesakitan, yang ia lakukan adalah memanggil bidan. Refleks.

Bidan datang beberapa menit kemudian. Melakukan  pemijatan refleksi supaya saya lebih tenang. Saya minta dipanggilkan suami yang masih terkantuk kantuk.

"Bu... Saya mau mengejan" pinta saya terengah engah dan menangis.

"Hmm... baiklah, tanpa suara ya"

Lalu bidan melipat kaki saya dan  memindahkan posisi badan saya menjadi menyamping sambil mengapit kaki.

"Ini membantu bayi kamu menemukan jalan lahir,"

Saya mengejan sekuat tenaga.
"Fokus mbak, jangan bersuara" bidan kembali mengingatkan.

Hari itu saya gagal untuk gak teriak teriak dan menangis. Meskipun sudah mempersiapkan hati dan mental tetap saja rasa sakitnya tidak karuan.

"Sebentar saya cek sampai mana,"

Dan ternyata, kepala bayi sudah mulai tampak.

"Wah... cepat sekali. Coba deh kamu berhenti mengejan atau ngeden. Tarik napas dan keluarkan seperti orang batuk itu. " perintahnya. Saya mengikutinya. Sampai pada batuk kedua saya merasa ada sebuah kepala meluncur keluar.

Dan tangisan itu pun keluar. Rasanya???

MasyaAllah.... sakiiiittt, tapi bahagianya. Alhamdulillah. Saya lirik jam dinding di kamar itu. 02.15

Suami saya masih menatap bayi itu dengan tatapan pucat. Ya! Wajahnya pucat semenjak ikut masuk ke ruang persalinan. Saya tau betul betapa ia tak sanggup menyaksikan hal hal semacam itu. Jangankan melihat istrinya kesakitan mengeluarkan makhluk kecil tak berdaya itu. Melihat ayam atau kambing disembelih saja dia bisa pucat pasi.

Anak kedua kami segera di urus oleh bidan dengan cekatan. Suami menyaksikan (lagi lagi semuanya). Saya pikir, baguslah dia punya pengalaman seru melihat orang melahirkan :p . Sementara itu saya masih memilah milah tenaga yang tersisa. Mengumpulkannya cuma supaya demi melupakan rasa sakit luar biasa yang baru saya hadapi. Pun begitu, saya tau masih ada lagi yang harus saya lewati. Mengeluarkan plasenta dan menikmati jahit menjahit itu.

Ya! Trauma kedua tentu saja urusan jahit menjahit yang nyeri nya akan tersisa hingga hitungan minggu. Membuat kita takut untuk ke belakang atau bahkan untuk bergerak bebas. MasyaAllah.

Tapi rasa syukur saya masih sungguh berlimpah. Allah masih mengizinkan saya menikmati rasa sakit yang luar biasa ini sehingga saya akan dipanggil "ibu" (benar benar ibu) lagi oleh anak kecil ini.
Meski kedepannya akan banyak sekali yang harus dibenahi, akan banyak sekali yang berubah, akan banyak sekali cerita.

Mereka adalah amanah,titipan sekaligus anugrah. Semoga Allah memampukan diri ini bekerja pada posisi ini semaksimal mungkin. Amiin

Persalinan kedua part 1


9 November 2015

Saya masih beraktivitas seperti biasa. Rasa sakit pinggang yang muncul sejak siang saya abaikan saja. Gara garanya saya sudah sering di Php in sama rasa sakit ini A.k.a kontraksi palsu sejak 2 minggu sebelumnya. Huft.
Sejak 2 minggu yang lalu saya ikut nyebur ke pantai demi lihat suami dan si abang asik banget mainan air. Walhasil sepulangnya saya langsung sakit pinggang sepanjang hari dan muncul flek (tanda tanda melahirkan muncul). Rasa panik dikit memang. Secara usia kehamilan masih jalan 37 weeks. Subhanallah. Dan sepanjang minggu perjalanan hati jadi was was terus. Suami sering batalin agenda, ternyata nihil karena cuma kontraksi palsu. Semakin dewasa usia kandungan, semakin panik, semakin sakit. Pasalnya, si bang kemarin lahir pas usia kandungan 38 weeks. Lhaa... nyaris 40 weeks si adik masih kerasa kencang tendangannya. Hiks... polos banget sih, g ngerti ya kalau bundanya udah ngos ngosan. Apalagi disambi momong si abang yang masih minta gendong.

Tapi menjelang sore perasaan  saya bertambah yakin. Dihitung hitung sudah ada kontraksi ringan yang teratur sejak siang yang g kunjung hilang. Sambil mendamaikan hati saya coba coba cari informasi lewat bbm ke teman saya yang berprofesi sebagai bidan.

Lagi bertambah panik, mengingat suami sedang acara ke laut bersama anak santrinya. Pulangnya mungkin tidak sampai malam, tapi yakin deh, rasa lelah karena habis nyebur itu bisa bisa membuatnya gagal fokus untuk siaga. Huft...

Saya lobi mahkluk Allah yang ada di perut  sambil menancapkan doa kepada Allah. Minta dikasih timing yang terbaik. Sambil mengira ngira berapa beratnya kalau harus melahirkan malam ini juga; suami yang lelah, anak pertama yang masih lelap tidur dan tetangga yang agak g enak diminta bantuannya malam malam. Maklum, kami perantauan yang tidak dekat dengan sanak keluarga. Bantu membantunya ya hanya mengandalkan tetangga. Tapi, meminta sijabang bayi dikeluarkan esok hari pun rasanya tidak sabar  membayangkan sakit sudah teratur semalaman

Sepulangnya suami, saya beritahu kabar ini.
"Hmm...hmmm... besok, besok itu bun," terkanya usil. Ya , sebabnya sudah terlalu sering di PHP in oleh kontraksi palsu itu.

Lalu suami bilang ba'da magrib ada rapat di kalianda. Hua... demi Allah  saya kira itu bercanda. Secara saya sudah curhat masalah rasa sakit ini.
Ba'da magrib saya menunggu suami pulang dari masjid. Kontraksi sudah semakin teratur. Tiba tiba suami sms kalau sudah di kalianda, dan minta tolong untuk menjemput abang di rumah tetangga.

Aksss... gak karuan rasanya pengen marah, saya balas sms suami dengan nada dongkol tapi tetap sopan. Huuu betapa kesalnya saya kala itu.

Jadi ba'da isya saya tidur kan langsung si abang, sambil menahan nyeri saya fokus tetap santai cari informasi (sekaligus chat sama suami yang udah mulai rada percaya, hiks).

Pukul 10 malam nyeri kontraksi sudah beranjak menuju 5 menit sekali. Suami belum pulang, tapi message juga sudah tidak dibalas. Saya pikir mungkin masih dalam perjalanan. Jangan dinasehati untuk tidur, karena tidak bisa pejam sama sekali sekalipun sudah terasa lelah dan ngantuk.

Ketika suami pulang, kami juga tidak langsung ke bidan. Masih meraba raba juga kapan pastinya dia keluar, karena saya sendiri agak lumayan trauma harus menunggu lama di bidan. Bolak balik ke bidan ternyata baru pembukaan 1 atau 2 sehingga kami harus pulang lagi daripada menunggu lama di bidan. Sementara saya masih menikmati rasa sakit ini, suami justru ngobrol santai dengan temannya diteras rumah, bukannya malah istirahat. Beliau meyakini sekali kalau besok baru keluar.

Tepat jam 11, saya sudah mulai was was. Rasa sakitnya sudah mulai bertambah. Karena kendaraan kita cuma motor jadi saya putuskan untuk ke bidan. Takut kalau kalau sebentar lagi sakit yang amat sangat itu sudah semakin dekat.

"Hah... yakin?" Suami ikut terkejut dan buru buru bersiap. Membangunkan tetangga dan menitipkan si abang berharap dia g nangis malam ini menyadari ayah bundanya tidak ada disampingnya, hiks...

Sampai di bidan saya langsung diperiksa. Dan ternyata baru pembukaan 2, mendadak rasa nyeri tadi hilang, huaaa... ternyata masih pembukaan 2. Saya tanya suami bagaimana baiknya

"Saya cuma mau tidur," ucap suami lelah. Tuuuh kan benaaar. Segalanya jadi menyebalkan kala itu. Akhirnya setelah lobi lobi dengan bidan, kami disuruh menginap, meskipun kemungkinan esok pagi baru lahir.

Bersambung

Minggu, November 01, 2015

Baper 2


Hal yang paling ditakutkan oleh seorang ibu adalah ketidakmampuan mampu menjadi ibu yang baik buat anaknya, hiks..

Dan saya sering merasa pada titik itu. Beberapa kali lost. Saat anak sakit, depresi saya bukan terletak pada sakitnya anak ( yang secara teori tau penanganannya). Masalahnya justru terletak pada "kenapa saya bisa salah, tidak menjaganya baik baik"

Jadi ketika anak menangis, saya kadang hilang kendali menjadi depresi. Depresi ringan sih, sepeti merasa bersalah disusul meneteskan air mata, "perih di ulu hati". Tapi itu kadang, hanya saja tetap terjadi beberapa kali.

Menuruti permintaan anak,  saya merasa bersalah, takut kedepannya menjadi manja. Tapi mengabaikannya juga menyakitkan, huhuhu.

Belajar! Belajar!

Ada yang punya jawaban begitu? Justru kadang semakin banyak teori di kepala, semakin pusing menghadapi realita. See!
Misal, Anak2 g boleh minum susu, efeknya g baik, bla bla. Disisi lain anak ketagihan minum susu (mungkin itu efek gak baiknya), tapi realitanya gara2 minum susu dia jadi sehat, gempal, jarang sakit. Ahhh... teori manusia kali ya.

Mungkin saya harus pindah haluan supaya gak baper melulu jadi ibu. Saya pengen melatih ikatan batin aja biar jauh lebih kuat.

Tapi ada yang jauh lebih penting, "positif thinking, positif mind"

Saya kira itu!

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men