Saya seperti bangun
dari sebuah ketidaksadaran yang amat lama ketika menemukan sebuah pesan singkat
dari suami saya.
Saya
menunggu kesediaan kalian, bunda dan fajri untuk mendampingi saya disini...
Pada
akhirnya pesan itu keluar. Entah bagaimana mendefinisikan perasaan saya saat
itu; marah, terharu, kesal,sedih, takut dan rindu. Semua terwakilkan dalam
getaran tangan saya dan setetes air mata disudut mata saya. Emosi saya teraduk kala itu.
Sebab,
Ini
sudah bulan kelima, usia anak saya bahkan sudah menuju 8 bulan. Masa-masa emas
dimana ia hanya menggiring senyum semua orang yang memeluknya. Lucunya
mengalahkan boneka manapun yang pernah dibeli semahal apapun. Tapi bahkan haru
dan bahagia itu terbagi menjadi sesak dan rindu yang menggumpal karena harus
berpisah dengan belahan hati. Terakhir suami saya melihat si kecil adalah
ketika ia masih 2 bulan. Ia bahkan belum mampu merespon secara sempurna
terhadap apa yang suami lakukan saat itu.
Dilematis
dalam arti yang sesungguhnya. Akan dibawa pergi oleh laki-laki yang dirindui
adalah angan terkeras saat ini, namun tak bisa juga dipungkiri, bahwa saya
bahkan merasa takut. Takut pada dunia nyata, bahwa ini waktunya berjuang untuk
sebuah realitas hidup yang sesungguhnya. Membayangkan bertahun-tahun kemudian
seperti apa kiranya keluarga saya, membuat saya tak henti-hentinya merapal
do’a. Harus memulai adaptasi dari nol, di sebuah tempat yang sungguh asing,
bahkan mungkin karena lamanya tak bertemu, bisa jadi suami adalah salah satu
dari sosok asing itu, adaptsi yang berat kiranya. Tapi menyesuaikan mimpi untuk
bisa sukses, adrenalin saya juga seperti terpacu, semangat juga membara, merasa
tantangan segar membias, jalan baru untuk lebih baik. Mana yang terjadi,
entahlah...
0 komentar :
Posting Komentar