Jumat, September 30, 2016

ASI


ASI itu memang makanan penuh berkah, MasyaAllah. Dua anak, Allah kasih kesempatan merasakan gimana perjuangannya ASI. Eh, tetap sih, perjuangan itu karena adanya kekuatan, dan kekuatan itu Allah yang hadirkan. Jadi saya cuma manusia biasa yang menjalankan apa yang Allah kasih. Meskipun, tetap, di dalamnya pernah ada proses menyerah. Karena ada ibu-ibu yang Allah takdirkan berbeda. Tetap, pasti ada hikmahnya ya ibu-ibu 😊. Selamat berjuang!

Si kakak Masya Allah, udah di kasih amanah adik di perut dari pas umur setahun. Morning sickness sih g seberapa ya ibu-ibu. Tapi mental nya yang sempet drop. Lari ke bidan mana mana ya tetap suruh disapih.  Apalagi lingkungan? Ah, sudahlah! Mungkin juga karena kala itu di desa. Tapi saya tetap ngAsi sampai hamil 8 bulan (karena akhir nya nyerah, dan ini murni karena kesalahan saya sebagai manusia). Di perjuangan NWP itu, badannya si kakak tambah gemuk, subur. Aduh, bahagianya gak karuan. Sampai akhirnya memberanikan diri buat melahirkan di perantauan (karena bahagia ini). Entah kenapa, saya merasa bisa menyusui langsung anak anak itu membahagiakan. Lagi suntuk, sedih, marah langsung kasih ASI, bahagia aja bawaannya.

Lalu, kebetulan si adik, sampai umur nyaris 11 bulan gini. MPASI g karuan berantakan. Nyoba dari yang homemade, sampai yang instan, berhasil di lepeh lepeh. Padahal yang kenal saya, tau gimana idealisme saya sama urusan makanan pendamping dari zaman kakak, no gulgar, hambar lah. Haha, sekarang tinggallah cerita. Cuma hari ini, karena masih lanjut ASI badannya tetap (lumayan) makmur anaknya sehat, aktif. Jadi saya juga gak ngoyo bener. Alhamdulillah, gak stress, masih bahagia

Tapi kalau ada yang tanya gimana resepnya, saya juga kurang tau. Kata mereka, ASI basi kalau lagi hamil, atau harus ada tambahan Sufor setelah asi ekslusif, itu mungkin bisa jadi karena banyaknya pengalaman. Saya g bisa bilang salah. Mungkin kuncinya saya menikmati aja. Meski harus terkurung di dalam rumah berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan. 😁😁

Selasa, Agustus 30, 2016

Terapi menulis


Hei... pukul 01.31 dini hari

Terbangun karena batuk batuk nya si abang fajri. Lumayan rewel padahal sudah minum obat sebelum tidur.
Saya lumayan terbantu kalau hanya salah satu yang sedang sakit. Sementara yang lainnya bisa anteng tidur meski dalam satu ranjang. Tapi si kecil masih ASI full, jadilah ia terbangun hampir di setiap dua jam sekali. Akhirnya saya meronda. Disetiap selingan momen bangun keduanya, saya berselancar di dunia maya. Di blog blog para perempuan yang menginspirasi.

Seringnya, memang saya cepat terpukau dengan ibu ibu muda yang hidup di negri lain, merantau, entah kuliah atau kerja atau sekedar ikut suami. Mereka, yang mungkin kalau di indonesia, pasti sudah jadi ibu ibu aktivis yang berakhir menitipkan anak entah untuk sekian jam, tapi karena di tanah rantau ya akhirnya pegang sendiri para anak, mendidik sendiri, dsb.

Tuntutan itu beriringan dengan tanggung jawab yang totalitas ya akhirnya.

Curhatnya akhirnya sama.... tentang bagaimana para ibu berjuang.

Tapi ya mereka beda. Hehehe. Bukan membandingkan ciptaan Allah. Hanya saja, memang kapasitas saya belum sekuat mereka. Dari macam macam sisi lah, mungkin ada sisi lain yang mereka kurang tapi kan gak di share.

Tapi, saya menyadari satu hal. Mereka sama sama butuh apa yang disebut dengan 'terapi menulis', akhirnya nge'blog. Dan akhirnya malah inspiratif sekali.

Kebutuhan yang sama seperti saya 😂😂
Hanya saja, ya itu tadi, kapasitasnya yang beda. Blog saya akhirnya masih melulu melulu pemikiran lepas saya, yang saya gak tau di bagian mana ada nilai inspirasinya, hihi. Karena blog ini murni buat 'terapi menulis' dulu.

Selain kapasitas diri, plus kemampuan dan kerajinan kami berbeda, adalah nasib yang menjadi yang masih berbeda.

Kalau tanah rantau mereka adalah luar negri yang notabene nya kota besar, sementara saya terdampar di pelosok desa dengan segala keterbatasan.

Belum ada ya ceritanya...

Ya adalah, banyak! Saya aja belum ketemu. Dan, saya pengen sih ketemu, tapi yang sesama blogger, minimal biar bisa menginspirasi. Karena kalau sekedar merantau ikut suami ke desa pelosok ya banyak. Tapi yang butuh 'terapi menulis' gak semua. Ada yang dasarnya sudah 'cerewet', hingga adaptasi mereka biasanya sudah oke, hanya dengan modal lisan capciscus... hihi. Dan saya g secocok dengan tipikal begini.

Ngomong-ngomong...

Cita cita saya dulu bisa lanjut kuliah, keliling dunia, merantau ke luar negri gimana ya?

Ya itulah, karena belum kesampaian, akhirnya, saya fokus baca baca blog mereka dulu. Mereka update ya, emak emak kece banget. Yakin deh, pemasukannya sesuai dengan apa yang dikeluarkan sebagai uneg uneg itu.

Saya g ngerti ini. Banyak hal, dalam diri yang harus diinstal ulang. Masa baca buku novel karangan tere liye saja, sudah 2 bulan lebih ga rampung rampung. Majalah tipis? Bisa seminggu. Akhirnya, jangan kaget, kalau tulisan saya g inspiratif begini.

Jadi saya simpan dulu cita cita itu. Usaha saya untuk install ulang kepala dan hati saya sepertinya butuh proses yang lumayan lama. Sebenarnya, secara visi misi dan prinsip, saya dan suami sudah lumayan sama. Ada beberapa yang berserakan, akhirnya g ketemu. Misalkan, sisa sisa freestyle saya masih ketinggalan sedikit, susah hilang, karena sangking kepengen nya dulu nginjek daratan eropa.

Kalau suami? Yaaa itulah... masih sisa sisa anak kampungnya kerasa. Meskipun sudah 5 tahun merantau meninggalkan kampung halaman, tapi karena dari kecil sudah hidup serba apa adanya ya beliau senang hanya dengan bercanda tawa dengan para sesepuh.

Tapi itu sisa sisa dari diri kita. Benar benar sisa sedikit.

Saya g akan memaksa suami untuk menghilangkannya, sama seperti suami yang g minta saya untuk ndeso banget seperti perempuan perempuan disini yang g ngeluh. Jangankan untuk tidak diberi hape canggih yang bisa internetan, gak dibelikan tivi di rumah pun mereka legowo. Ahhh....

Sabtu, Agustus 27, 2016

Kenangan


Impian bukanlah angan-angan
Ia adalah energi dan jiwa
Ia adalah bukti semangat ketika muda
Ia adalah... perjuangan.

Tapi setiap mimpi bisa saja berubah
Karena waktu dan obsesi adalah nyata
Ia menelan, membuang atau cuma sekedar menyembunyikan impianmu
Tapi hanya bila, kau menelantarkannya

Apa? Tunggu!

Apa aku sedang berkamuflase dengan kenangan dan Mmm... masa lalu?

Bukan!
Ini realistis. Mimpi kamu. Dengar! Mimpimu!

***

Ada hari hari dimana aku merasa begitu pincang diantara langkahku

Waktu terasa begitu lambat berjalan, tapi hari cepat sekali berlalu. 'Aku bertemu malam lagi,' hanya saja apa yang dicari tak sampai

Aku mendesain malam sebelum tidurku, memikirkan apa yang akan aku hidangkan besok.

Aku tak bisa merebahkan diriku  sebelum orang orang di rumah ini telah lelap diantara bantal guling.

Dan lagi lagi bergumam
'Sudah malam lagi'

Begitu seterusnya.

Aku menikmati, tapi ada muncul titik jenuh di berlalu nya hari

Ah, begitulah manusia. . .

Apalagi perempuan, rentan merasa apa apa yang tak sesuai dengan hatinya.

***
Bukaaan!!!

Aku sedang tidak menyerah,
Aku menyemangati diriku,

Karena tiba tiba mimpiku berbelok arah.
Tapi arahnya akan semakin panjang,
Hanya tentu, ia lebih realistis.

Kepingan dunia yang ingin kujelajah itu,
Sedang dipersiapkan, tapi bukan untuk sekedar menikmati,
Aku ingin berkhidmat
Hingga menemukan satu pose terindah untuk yang sedang menungguku.

***
Aku memang sedang melangkah jauh dengan heningku.
Meninggalkan masa muda yang seiringan menjauh
Tapi, aku tau tenyata tak ada yang sia sia...



Sabtu, Juli 23, 2016

Some.... times


Pernah merasa ingin menyerah?

Tentu ada,

Adakalanya perasaan menghampiri di saat saat yang tak begitu tepat. Ketika semua perasaan nelangsa bersatu padu dengan keadaan yang memang sedang melelahkan.

Yang mungkin andai kata salah satu dari kami melepas predikat sabar itu, maka lengkap lah bara bara api dan berakhir dengan menyerah.

Bagi diriku misalnya,
Perempuan manja. Setidaknya awalnya manja. Yang akhirnya harus bertemu dangan lelaki yang mengajak berjuang secara tak main main. Itu g mudah.

Kombinasi dari rasa lelah hari itu, sakit yang mendera seperti demam dan flu berat, di bayang bayangi pekerjaan rumah yang menumpuk, di tambah dengan dua anak batita yang sedang tak enak badan. Seharian rewel, dan bergantian menangis hingga malam larut.

Adaaaa saja godaan untuk menyerah.

Menyerah dan ingin kembali menjadi gadis manja orang tua dulu.atau setidaknya saat 'oleng' bisa jalan jalan bersama teman teman, menghabiskan 'sedikit' pengeluaran kita untuk bersenang senang, sebelum akhirnya tersibukan oleh pekerjaan kantoran Hahahaha[entah apa maksudnya ini], Yang terbiasa ini itu tinggal "ting" meski dalam versi usaha dikit.

Tapi, kalau tidak ingat dibalik semua  keadaan berat itu, ada sebuah hadiah berupa kekuatan seorang perempuan yang amat mahal tak terhingga yang ingin kumiliki.

Setidaknya, bila nanti, mimpi itu tercapai, ada cerita haru yang benar benar bisa menjadi kado atas kesuksesan kita. Ah, syurga... syurga... kita harus bertemu di syurga

Selasa, Juli 12, 2016

Love you more and more


That's why marriage called "completing half my deen". That's not easy to make it complete.

Tiga tahun kita aku definisikan 'baru'. Sebab, aku masih bertahap memahami, betapa cepatnya aku berubah.

Ada kalanya aku merasa, pernikahan ini adalah jembatan tercepat untukku merasakan cintaNya Allah. Air mata, dan ujian kesabaran adalah alurnya.

Dan bila, aku merasa terperosok pada 'tawa' dan 'manja' yang amat dalam, sebuah hole terbesit begitu saja. Mengingatkan, alarm. Hai itu dunia...dunia...semu!

Aku cuma perlu memastikan pada diriku sendiri bahwa aku harus terus belajar. Terus-menerus bertanya tentang apa itu bahagia? Versi diri sendiri, dan aku merasa harus tegas.

Pertanyaan yang hadir di setiap proses pendewasaan. Pertanyaan yang telah muncul jauh jauh hari setelah label aqil baligh menjadi bagian diriku.

Tapi jawabannya terbuka lebar setelah aku menikah.

Proses. Belum utuh. Bahagia itu apa?

Nah, padamu lelakiku...
Aku masih ingat bagaimana kamu mengenalkan dirimu di malam pertama kita.

"Aku bukanlah pria romantis, kaku tapi amat pencemburu"

Tidakkah itu terasa tak adil kedengarannya.

Sementara duniaku sebelumnya adalah tentang drama drama korea dan puisi puitis yang dibait kan ketika hujan gerimis.

Jadi, perjalanan 3 tahun bersamamu. Serasa tampak amat panjang. Hari hari aku menghitung, kapan perjalanan ini akan lebih ranum. Sementara episode romantis itu melulu menghantuiku. Ah, tak peka.

Tapi sekali lagi waktu membantuku. Adalah cinta yang membantuku manjadi jauh lebih mahfum. Bagimana Allah mencintaiku lewat caramu mencintaiku. Ia titipkan sepenggal perasaan "uhibbuki fillah" itu dengan sungguh sungguh. Pancaran matamu melukiskan kesungguhan sekaligus meluluhkan.
Adalah aku yang akhirnya mencintaimu, karena besarnya cintaku pada Allah. Ternyata jawabnya adalah Allah dulu, Allah dulu dan Allah lagi.

Sekarang,
Maafkanlah aku.
Perempuan tanpa daya.
Sebab di waktu itu, tak mudah bagiku meletakkan taat ku pada seseorang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Apalagi mengikuti langkah seseorang yang sangat asing bagiku.

Sekarang,
Aku memilih mencintaimu, tanpa daya. Karena Allah yang menentukan. Seperti yang pernah kamu bilang padaku.
"Mau di putar seberapa banyak, seberapa lama apapun masa lalu kita, jalannya tetap sama. Takdir sudah ada di lauhul mahfudz. Kita akan tetap bertemu di pernikahan ini."

Eh, aku baru sadar, itu romantis.

Jumat, Juni 24, 2016

Menanti, penantian...


Untukmu yang sedang menanti.

Wahai Allah...
Yang meletakan ku pada posisi menanti.
Berat, adalah ungkapan dari hati yang terdalam. Terjebak dalam hembusan nafas berkali kali , meminta diri mencoba bersabar.

Wahai Allah...
Yang mengetahui segenap kemampuanku, Yang menyerahkan takdir baik atas apa apa prasangkaku. Yang tak mungkin menyakitiku atas besarnya pengharapanku.
Aku menyerah... aku pasrah... aku percaya dan aku ikhtiar.

Jaga ikhtiarku,
Agar aku tak hanya terjebak dalam emosi tak terkendali.

Sebab...

Menanti itu
Bukan hanya urusan waktu.

Apatah lagi hanya sekedar bawa perasaan

Atau menghitung sajak sajak pengorbanan,

Bukan pula sekedar menerka, bagaimana takdir masa depan kita .

Menanti...

Adalah sebuah proses,
Yang meminta kita untuk senantiasa belajar

Adalah sebuah jeda,
Untuk kita lebih kuat mengangkat kaki di langkah selanjutnya

Adalah sebuah pengharapan,
Sebagai semangat untuk bisa jauh lebih merasa pantas.

Wahai Allah...
Lingkarkan aku dalam lingkungan yang menjaga setiap perasaanku.
Bariskan aku pada barisan yang mengerti bagaimana cara membantuku berjalan.
Kumpulkan aku pada mereka yang menggenggam kuat tanganku agar tak payah melewatinya.

Sebab,
Aku tampak kuat...
Tapi rapuh di dasarnya.
Aku tampak tegak mengangkat kepala
Tapi ingin jatuh berkali kali.
Aku tampak baik baik saja
Tapi merasa sakit di saat menyerah.

Pada akhirnya aku tahu...
Aku hanyalah membutuhkanMu. Bukan berharap banyak pada orang lain

Pada akhirnya aku tahu,
Cinta suci itu adalah benar. Tapi suci, karena Kau menyerahkannya di saat yang tepat.

Ya... semua hanya urusan waktu yang tepat.

Mungkin aku tak sanggup menghitung setiap air mata yang jatuh.
Mungkin aku tak sanggup melewati malam malam yang penuh keresahan.
Mungkin aku tak sanggup menjawab wajah wajah penuh tanda tanya
Mungkin aku tak sanggup menerka nerka seberapa pantas aku (lagi, lagi dan lagi)

Aku, padaMu Allah...
Tak bisa merasa 'sok kuat' bila padaMu Allah.
Tak mampu merasa pantas bila padaMu Allah.

Penantian yang indah...
Hahaha, itu kamuflase kawan. Di dalamnya akan tetap ada rasa sakit, kecewa dan cemburu mengejarmu.

Aku dan penantian yang indah. Keduanya adalah milik Allah.
Yang euforia nya hanya bisa dirasakan saat kita menang, menahan rasa rindu, sakit, dan menyerah, lalu bertemu dengan takdir sekaligus pengharapan terbaik itu.

Minggu, Juni 12, 2016

25th


Kira kira sepekan yang lalu saya genap berusia 25 tahun. Meski menikmatinya disambi merawat anak yang sedang dirujuk ke rs, tapi tetap masih sama spesialnya seperti tahun tahun sebelumnya. Tanpa acara, tanpa ucapan, apalagi kado kado. Kecuali sedikit ceramah dari pak suami, tentang cara terbaik mensyukuri nikmat usia ini.

Tak pernah ada masalah. Sejak bertahun tahun lalu memang tradisi merayakan ultah itu sudah musnah dalam keluarga kami. Terutama setelah menikah.

Hanya saja....
Bukan itu intinya.

Hanya saja, mendadak diri ini menjadi merasa begitu amat tua. Sebelum akhirnya sampai pada usia ini, waktu seakan berjalan begitu cepat. Setahun seperti sebulan, sebulan seperti seminggu, seminggu seperti sehari, sehari seperti sejam, sejam seperti semenit. Apa ini? Tanda akhir zaman.

Perasaan sedih itu melanda begitu saja. Seperti badai yang menampar pikiran hingga ke ulu hati. Persiapan apa hingga sampai ke usia ini? Sudah menjadi apa? Seperti apa? Dan berakhir pada, kenapa mimpi mimpi masih banyak yang menggantung tanpa arah?

Baik!

Resolusi hidup saya memang banyak yang tak tercapai. Mendadak takdir membuat saya terdampar pada cerita lain. Saya tergugu. Kenapa lagi lagi menyalahkan takdir?

Ini sedang melucu?

Padahal saya lah yang sebenarnya sedang patah arang. Kehilangan motivasi, arah tujuan, visi misi, dan mimpi itu.

Bukan...bukan...

Mari pelan pelan mencari jalan. Semua mimpi itu tidak hilang. Hanya, tak terkabulkan dalam satu waktu dan sesingkat yang diharapkan.

Andai di buka lembaran lama. Saya sebenarnya sudah menemukan mimpi mimpi lain, tapi kurang terbaca oleh hati sehingga mimpi yang amat dekat yang selalu ingin segera tercapai.

Usia tak pernah mematok mimpi. Obsesi lah yang mengikatnya. Mari pelan pelan mencari hikmahnya. Saya pikir, saya sudah tak lagi muda. Ada banyak jalan yang lebih ramah untuk di lewati kami. Ya! Saya dan keluarga tentunya.

Kamis, Mei 26, 2016

Mudik part 1; I lost my room


Samarinda, I am coming...😍

Yups... alhamdulillah, akhirnya saya bisa merasakan mudik setelah nyaris setahun lebih mendekam disebuah kampung perdesaan.

And... something different.

Sesuatu yang akrab, dan pernah menjadi jiwa tiba tiba kembali. But,... yaitu tadi. Something different.

Beberapa  diantaranya adalah...

Hahaha (ketawa dulu biar gak tegang)

Kamar saya sudah diambil alih oleh adik. Adik perempuan yang sudah menikah dan memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua. Rupanya, orang di rumah memutuskan bahwa saya sudah bukan bagian tetap dari rumah itu. Jadilah baju baju saya diungsikan.

Tapi, melihat kamar itu menjadi milik pribadi mereka, saya kok mendadak jadi baper. Kalian tau kan, rata rata orang yang memilih untuk pulang ke rumah setelah lama merantau, beberapa dari banyak hal yang ia rinduku adalah kamar, right?

Tapi saya udah gak punya itu.

Lihat ranjang pengantin saya, lemari lemari baju juga. Bahkan pernak pernik hiasan bayi yang asli buatan sendiri masih menempel cantik alias bergelantungan di depan pintu. Gambar gambar yang saya tempel bersama si kecil benar benar kenangan yang indah. Sayangnya  sudah bukan milik kita. Saya tidak bisa masuk leluasa kamar itu sesuka hati seperti dulu.

Lost...

😂😂😂

Saya gak mau baper, tapi ya saya memang baper. Karena gak ada yang salah. Sesuatu kayak gini udah memang harusnya terjadi. Gak mungkin saya maksa semua tetap jadi milik saya, lantas saya gotong semua ke lampung, balik pulang ntar saya bawa lagi, haghag.

Jadi, dua hal penting yang saya pelajari di malam pertama mudik adalah...

Saya harus siap dengan segala kemungkinan kehilangan. Akan banyak hal hal yang hilang, yang harus saya relakan dengan cepat. Iyaps! Dengan cepat!

Yang kedua,
Status saya kali ini adalah

TAMU

Lihat anak anak akhirnya harus beradaptasi sebab posisi tidur, suami yang setengah bergelantungan, artinya kita adalah tamu. Haghag.

Jadi kalau si abang suka bilang "mau pulangggg,"

Ah, saya yang harus mengerti dia.

Pun, artinya saya maupun anak anak harus belajar adab sebagai tamu. Dan itu susyah... karena dulunya, rumah ini, adalah rumah dimana saya bisa semena mena melakukan banyak hal. Ahhh... Tapi sekarang bukanlah yang dulu.

Dan ternyata, disana...

Rumah sederhana itu, milik kita.

Disanalah...
Banyak hal yang harus kita bangun, salah satunya adalah peradaban. Dan kitalah, guru peradaban itu..

Weh...eh..eh... kok mendadak bijak gini✌😣

Kamis, Mei 12, 2016

3th


11 mei kemarin adalah 3 tahunnya kami. Dan seperti tahun tahun kemarin suami masih lupa. Pura pura lupa - atau berharap lupa aja lah 😅. Jadi tidak perlu diungkit ungkit hal itu setiap tahun, seperti drama sinetron sinetron, eaaa...
"Ayah lupa lagi? Ya ampuun... ayah gak perhatian banget sih! Ayah tega tau gak sih..."

Hihihi... drama apa itu?

Jadi 11 mei nya kemarin kita flashback aja dengan apa yang udah terjadi. Banyak hal? Ah... belum! Buktinya saya masih baper an. Berarti belum banyak pengalaman. 😁😁😁

Terus kita buka foto wedding kita yang udah terjadi 3 tahun yang lalu.

Saya dulu? Ya ampun cantik ya? Eh, apa menor ini? Cantik mana sama yang sekarang? Ahahaha. Bagi anak anak, ibunya pasti paling cantik. Di rumah ini memang saya yang paling cantik 😳.

Saya tanya sama si sulung.
"Baaang, lihat deh! Ini siapa?"

"Ih... ayaaah" serunya girang.

"Huum.. Kalau sebelahnya itu siapa?"

"...." krik-krik-krik

"Siapa bang?"

"Bunda?" Ia ragu

Haha

Mungkin baginya, setiap wanita yang ada disebelah ayah ya pasti bunda. Meski dia sendiri tidak yakin itu wajah bunda.

Hehehe.

Jadi sebenarnya, tulisan ini didedikasikan untuk perasaan ini. Sebab di tahun ketiga ini,  (artinya si sulung sudah beranjak 2, 3 years old) sudah bisa ngerasain harunya jadi seorang ibu. Sebuah batu loncatan melihatnya mandiri.

Terutama haru yang paling haru adalah panggilan fasih nya untuk kami, ketika dia benar benar tahu tempat ia sedang membutuhkan seseorang.

"Ayaaaahhh... bundaaaa... tolonggg!"

Dan dia benar benar mengerti dengan baik artinya itu

,#apasih lu mak😱😱.

Pengen nulis tapi ngantuk... ya gini deh.

Jumat, April 29, 2016

Tanpa judul


Baiklah... malam ini saya hanya ingin curhat. Murni karena saya sedang mengejar kantuk. Curhat ini tidak ditunjukkan untuk siapapun. Juga tidak berharap dibaca oleh siapapun.

Sebagai prolog,

Apakah kamu punya orang yang sangat dipercayai?

Sayangnya....
Diusia 24 tahun ini, saya sudah kehilangan kepercayaan saya pada siapapun. Satu hal positifnya adalah, saya menjadi jauuuh lebih dekat dengan Allah. Karena disitulah titik balik hikmah hidup saya beredar. Satu satunya tempat yang bisa saya percaya.

Lalu, bila saya sering menuliskan segala kecanduan bawaan perasaan saya, itu murni karena ingin menerjemahkan dengan lebih rapih keluhan saya.

Bukankah manusia memang selalu mengeluh. Dan saya akui itu, sekalipun hanya sebuah rasa terbesit selintas, tapi itu.... ada. Dan bahkan sering.

Baiklah, apa tadi? Oh ya, saya kehilangan kepercayaan pada siapapun. Tidak sepenuhnya memang. Karena dahulunya, kita pasti pernah pada posisi sangat punya orang yang dipercaya. Sahabat, orang tua, pasangan dan sebagainya. Seolah apapun yang terjadi dalam hidup kita semua ia tahu. Nah... apa kalian mulai memahami apa yang saya rasakan?

Hmmm...

Karena pada realitanya, mereka semua pernah menyakiti kita. Sekecil apapun. Sesedikit apapun. Meskipun hal remeh yang akhirnya sudah kita maafkan. Tapi, tetap saja pernah.

Memang, tidak semua hal apa yang ada pada diri mereka tak bisa dipercaya. Hal hal remeh dalam hidup kita pasti bisa dipercaya. Misalkan aku percaya, suami saya pasti akan sekuat tenaga menjaga saya dan anak anak. Saya percaya orang tua akan selalu mendoakan yang terbaik bagi kami anak anaknya, dsb, dsj.. bla..bla.

Atau begini bahasa gampangnya.

Sampai saat ini saya punya suatu masalah yang tak ada seorangpun yang bisa menjadi tempat berbagi cerita dengan utuh. Entah itu karena saya tak ingin membuat orang lain menjadi khawatir, atau tak ingin orang lain jadi repot dengan masalah saya, atau saya tidak mau orang ikut mengomentari apa masalah hidup saya.😪😪😪

Krik...krik... mulai loading

....
....

Selasa, April 26, 2016

Diane 1


Coba nulis cerita di blog ya. Soalnya lewat hp. Masih acak adut, karena nulis langsung dipost, minus edit. Kapan kapan aja edit. Takut ide kabur. Wkwkwk

***

Perempuan itu menatap langit desanya dengan haru. Mimpinya akan hilang sebentar lagi. Tentang sebuah kesederhanaan akan arti hidup. Ia tak pernah membayang bahwa akhirnya ia harus siap melalang buana. Ikut mencicipi pulau pulau lain yang biasanya hanya ia lihat di tv rumahnya sejak kecil. Bahwa akhir nya ia harus benar benar percaya ada mahakarya mahakarya tuhan yang lain di sisi lain bumi ini.

Baginya, desa tempat ia lahir dan tumbuhnya adalah segala galanya.

Ustadz yang mengajarinya saat ia kecil sering bercerita tentang kesederhanaan nabi muhammad dan para sahabat. Mereka tak mencintai dunia. Dunia hanya sebatas jalan dan arahan untuk bisa lulus menikmati syurga. Lalu pada akhirnya, dunia mereka terasa tampak damai.

Perempuan itu juga menyadari bagaimana, kelakuan orang orang yang terobsesi pada dunia akan terseret pada gaya hidup yang penuh kemunafikan. Tampak bahagia tapi mereka tersiksa, tak berhenti mengeluh. Lalu...beberapa akhirnya memilih pulang kembali ke desa ini demi melepas sesak penat oleh apa yang mereka sebut dengan gaya hidup duniawi itu. Demi bisa menghirup udara segar bebas polusi dan kemacetan, demi bisa mencuci mata melihat setiap keindahan alam yang tersedia, demi bisa mencicipi segala makanan ranum yang tumbuh subur dari peluh sendiri. Begitu... pada akhirnya.

Hanya saja... tak selalu begitu jalan ceritanya. Ia harus meneguk skenario lain. Yang baginya pahit untuk diingat dan membuatnya serba salah untuk memikirkan kapan bisa kembali ke desa nya lagi. Keluarganya, sanak saudaranya, dan tentu saja mimpi mimpi kecilnya.

Ia masih menyimpan rapat rapat setiap cerita hidupnya di tanah ini.

Wanita itu bernama dian.

"Ayo dek," seorang lelaki mengajak nya pulang. Dian bergeming, sambil bergumam.

"...aku pikir, aku akan menikah disini, punya anak disini, dan mereka akan pergi kesekolah yang sama denganku, seperti yang teman temanku lakukan juga, seperti semua orang yang lahir dan besar disini, aku akan punya kehidupan sederhana jauh dari ambisi dan kompetisi, tenang dan damai , aku terbiasa bermimpi seperti itu. tapi sekrang aku merasa lemah meski hanya untuk bermimpi…"

Rabu, Maret 23, 2016

Reuni


Dulu

A : Reuni yuuuk!
B,C,D : Yuukk!!!

A : dimana?
B : Di mall aja
C : Di kos ku juga boleh
D : Di rumahku aja gimana
Bla..bla...

A : Agendanya apa?
B : masak-masak aja, aku punya resep baru
C : nonton film juga, aku punya film baru
D : aku mau curhat lah
Bla...bla...

Dan reuni pun seperti gak berakhir akhir... ujung ujungnya pada nginep untuk menuntaskan rasa kangen 😁

Kalau sekarang
A : teman-teman reuni yuk
B, C, D : ayuuk! Aku kangen 😭

A : dimana?
B, C, D : ...

A : Agendanya apa?
B, C, D : ...

Dan reuni pun terancam gak jadi jadi. Atau paling banter nongkrong,-makan - pulang. Bukan karena para anggotanya gak mau, tapi kondisinya sudah gak memungkinkan. Di kepala kepikiran suami-anak-kerjaan rumah. Kalau sudah begini yang masih single yang jadi korban.

Selasa, Maret 15, 2016

Di suatu hari


Ada suatu hari dimana,
Aku akhirnya memutuskan merawat kalian dengan tangan ini sendiri.

Alih alih meminta orang lain menjaga kalian meski kepada yang lebih berpengalaman.

Ada suatu hari dimana,
Aku akhirnya memilih belajar melapangkan hati di sebuah kampus kehidupan.

Alih alih memilih belajar lagi dengan duduk rapi di sebuah universitas impian.

Ada suatu hari dimana,
Aku akhirnya berusaha diam. Menekan egoku yang kadang bertemu amarah dan kesal.

Alih alih berusaha lari dari masalah dan melampiaskannya pada cara yang salah.

Ada suatu hari dimana,
Aku merasa begitu tua, begitu cepat hari berlalu memakan waktu. Merasa belum memiliki apa-apa yang berarti untuk diberikan pada kalian yang tersayang.

Alih-alih merasa usia masih muda. Kuat dan bersemangat. Menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, patah hati, dan menikmati hari dengan segala petualangan.

Dan di suatu hari itu, aku memutuskan untuk bertanggung jawab penuh pada pilihanku. Bertawakkal dengan sungguh-sungguh serta cara terbaik.

Bukan lagi bertanya-tanya kenapa aku dipilihkan jalan cerita ini. Menangis tersedu-sedu, menyesal, apalagi kepayahan.

Lalu setelahnya, aku tak ingin lagi meminta pengabdian kalian. Aku hanya ingin mendidik kalian, merawat, menjaga, mencurahkan kasih sayang, lalu bertemu di syurga.

Jangan tanya kenapa.

Hanya itu saja.

Sidomulyo, Lampung Selatan

Senin, Maret 07, 2016

Menikah


Menikah itu, adalah jalan pulang, dimana bisa menemukan tempat persinggahan hatimu ketika lelah, letih, dan bersedih.

Menikah itu, adalah kesiapan berbagi , baik setiap rasa gundah ataupun rasa bahagia.

Menikah itu, adalah  merajut jejak sekaligus menemukan jalan bersama untuk sampai ke SyurgaNya.

Benar kata orang...

Selepas perahu kita meninggalkan tepian pantai yang  indah dan meninggalkan kenangan, kita akan menemui pemandangan yang jauh lebih menakjubkan sekaligus ombak yang menantang . Dimana tak ada cara lain selain melewati nya.

Awalnya aku ingin membantumu mendayung, agar kita jauh lebih cepat sampai ke tujuan kita. Tapi lalu kamu benar, aku lebih baik bersikap tenang dan menjaga apa apa yang ada di perahu kita. Agar kita selamat. Tapi tak hanya kita berdua. Melainkan yang kita bawa harus selamat pula.

Jadi aku benar. Kali ini aku yang benar. Benar dalam benak dan versi ku. Bahwa aku lah juga yang berbenah diri. Agar setidaknya perahu kita tak bocor.

Senin, Februari 01, 2016

Helena 1


Coba nulis cerita di blog ya. Soalnya lewat hp. Masih acak adut, karena nulis langsung dipost, minus edit. Kapan kapan aja edit. Takut ide kabur. Wkwkwk.

***
Hujan.
Hujan tak lagi bermain dengan gerimis. Ia sudah semakin lebat seiring bertambahnya waktu. Dan pekatnya malam, serta suara air yang menghantam atap rumah tampak berduet menjadi nuansa sempurna yang mengundang kantuk.

Hanya saja Helen masih ingin awas.
Belum tengah malam. Tapi rasa dingin itu sudah menerobos hingga ke tulang. Tak ada lagi udara yang bersahabat. Membuat kantuk yang menjadi jadi.

Amplop coklat di atas meja belajarnya teronggok sempurna tak tersentuh hingga seminggu. Ia sengaja mengabaikan, sebab tak ada angan apalagi rasa pada permintaan  tentang amplop coklat itu. Isinya sebuah nama. Sebuah nama yang disodorkan nyaris berkali kali oleh seniornya. 

Ia belum tau nama siapa yang tertera disana apalagi wujud sang pemilik nama.

Hanya saja, ini soal rasa. Sekali lagi, ini soal rasa. Bukan masalah rasa pada sesosok tersebut. Melainkan rasa ambigu yang menggelanyuti semenjak permintaan kesekian itu hadir. Sudah banyak ia tampik. Ia sedang mengejar cerita hidupnya yang lain. Cerita itu bernama cita cita.

"Innalillahi..." ucapnya menahan perih.
Akhirnya ia menyadari ada yang jauh lebih penting saat ini dibanding memikirkan amplop itu(dia sering berusaha mengabaikannya). Perih sedari tadi yang ia abaikan ternyata masih ada. Rasa perih yang sempat menghilang ketika memikirkan sosok dan amplop ambigu itu. Dan baru sadar ketika ia berhenti melamun.

Hal ini sekaligus menghilangkan rasa kantuknya. Meskipun rasa amat dingin itu masih menjejak di bagian tubuh lainnya.

Pelan ia mulai berdiri. Mengambil kotak p3k yang tersedia di kamarnya. Sambil mengobati kakinya ia tersenyum.

"Ya Allah, Ya Robbi...," ia tersentak setelah lamunannya sendiri. Menyadari sesuatu yang tiba tiba hadir diingatannya.

Senyumnya kemudian merekah. Mengingat ingat kembali kejadian siang tadi. Seseorang menabraknya -ia yakin dengan tak sengaja-ketika ia buru buru mau pergi taklim mingguan. Ia buru buru karena sudah telat hingga 1 jam lebih. Perasannya campur aduk kala kejadian itu. Rintihan istighfar berkali kali keluar dari bibirnya. Sebab ia lalai berhati hati. Perempuan yang menabraknya pun tampak bingung, ahaaa... labih tepatnya seperti lelah, atau justru mengantuk. Bukannya menolong dirinya, perempuan itu justru berekspresi terkejut luar biasa.

Helen meringis. Antara tertawa lucu dan berusaha mengabaikan rasa sakit yang ada di kakinya.

Sabtu, Januari 30, 2016

Anne 1


Coba nulis cerita di blog ya. Soalnya lewat hp. Masih acak adut, karena nulis langsung dipost, minus edit. Kapan kapan aja edit. Takut ide kabur. Wkwkwk.

****

Fyuh...

Macet.
Panas mulai merambat ke ujung kepala Ana. Nyeri akhir nya yang ia rasakan. Jalan perempatan yang ia lalui sudah tak lagi beraturan. Benar benar padat merayap. Seolah siang ini semua orang kaluar rumah lalu tumpah ruah memenuhi jalan. Tak ada yang jauh lebih diinginkan daripada kamar kos nya kali ini. Sungguh.

Ia tak terlalu gesit mengendarai sepeda motornya. Kalau saja bukan karena jarak kos-kampus yang lumayan memakan waktu atau urusan gaya hidup mahasiswa masa kini, tak punya nyali ia mengendarai motor ini. Materealistis memang bukan pilihannya, hanya sudah jadi kebutuhan dari hari ke hari. Setidaknya untuk mahasiswa masa kini. Tak punya kendaraan, atau sekedar android. Seolah tak realistis.

Ana mulai lelah. Jilbab tipisnya beterbangan tak tentu arah. Lalu basah oleh keringatnya. Ia berkali kali mencari celah jalan. Mencoba menemukan gang gang tikus, tapi nihil. Ia belum hapal jalan di kota ini. Masih pemula. Sebab baru hitungan bulan yang ia jalani menjadi mahasiswa disini.

Di persimpangan kemacetan ia erat memegang kemudi. Menepi tapi tak berhenti. Kendaraannya masih bergerak pelan. Sampai seorang ibu di depannya menepi pula. Ana pikir ikut mencari celah jalan, tak taunya menepi untuk berhenti. Berhenti mendadak tepatnya. Membuat Ana oleng sesaat tapi masih awas pada lalu lalang. Ia merasa jauh mengerahkan energi kesabarannya dibanding energi untuk mengendarai kendaraannya ini. Sebab gerak yang amat lambat ini menambah persentase beban lelahnya. Sambil mencari jalan lain setelah berhentinya motor ibu tadi di depannya, ia meng gas motor. Menemukan jalan untuk menyalip, ia berusaha bergerak gesit di antara kepadatan itu. Kesalahan terbaiknya ia meng gas terlalu dalam. Tepat ketika seorang wanita terburu buru lewat di depannya. Lantas ia menabrak wanita itu.

"Ah... sial!" Umpatnya.
Wanita itu terpelanting. Ana tau itu sakit. Ia hanya merasa saja. Tapi toh wanita itu bangun lagi dengan kesusahan. Karena ia buru buru, belum sempat ada yang menolongnya. Ana tak bisa melihat wajahnya. Seluruhnya tertutup oleh cadar.
Wanita itu mendekatinya.
"Maaf ya mbak, maaf," ucap wanita tersebut lembut. Lalu bergegas pergi dan berlalu begitu saja. Dan setelahnya orang orang sekitar memandangnya dengan berbagai tatapan.

Marah dan rasa kasihannya bercampur baur.

Sabtu, Januari 23, 2016

Sabar dan Qonaah


Menjadi sabar dan qonaah adalah dua hal yang sedang saya pelajari hari ini. Karena sejatinya kita tak pernah berhenti belajar. Namun sayang sekali bila setiap titik kedewasaan kita itu abai akan ilmu dan hikmahnya.

Saya kehilangan banyak hal untuk mencapai hal hal baru yang saya kejar. Bila hari ini saya mengejar target menjadi istri dan ibu yang baik untuk mereka, saya kehilangan hal lain untuk diraih dilain waktu. Salah satunya adalah impian. Impian karir, impian sekolah lagi, dan impian impian lain yang menghiasi benak masa muda saya.

Bukan kah semua bisa dilakukan bersamaan? Beriringan?

Begitulah kemampuan manusia. Terbatas dan terbatas. Bila hari ini saya sedang mengejar impian menjadi istri yang baik sekaligus ibu yang baik, bukan kah itu artinya saya juga sedang mengerjakannya secara beriringan? untuk sementara mengabaikan mimpi mimpi lain karena fokus pada impian hari ini adalah cara saya belajar sabar dan qonaah.

Sabar terhadap segala keterbatasan diri. Sabar terhadap tantangan yang ada di depan mata. Sabar terhadap situasi dan kondisi yang ada di sekeliling kita. Sabar terhadap ujian harapan dan lainnya.

Plus

Qonaah terhadap apa yang sudah kita miliki, qonaah terhadap pencapaian kita HARI INI. Qonaah terhadap proses pembelajaran nilai kehidupan kita.

Keduanya adalah harga mati untuk bisa fokus memperbaiki diri.

Karena dengan kesabaran, kita bisa perlahan memahami dan menghayati titik balik perubahan diri kita. Menikmati setiap proses yang Allah berikan. Tak terburu buru melihat pencapaian, hasil akhir.

Karena dengan qonaah, kita bisa memahami dan menghayati keterbatasan kita sebagai makhluk. Karena ketika tercapainya impian  kemarin, akan hadir impian hari ini. Dengan tercapainya impian hari ini, akan hadir impian esok hari. Bila kita tak qonaah, kita akan memburu semua harapan dan keinginan kita itu padahal kita punya keterbatasan yang amat banyak.

Slow but sure...
Yuk, nikmati! Sekali lagi, hargai setiap proses dan pencapaian hari ini.

Sabtu, Januari 02, 2016

Our love <3


Tengah malam gini...
Tiba tiba keinget sama perjalanan rumah tangga kami. Ketika baru memulainya, dan baru sadar kalau aku g pernah mengabadikannya. Gimana kalau ntar anak anak tanya, dan ternyata saya udah pikun, huhuhu.

Meskipun gak ada yang spesial di mata orang lain, tapi selalu spesial di mata si artis skenario Allah ini. Gimana gak, menikah adalah daftar janji suci yang harapannya cuma bisa diucapkan sekali seumur hidup, oleh orang yang menggenapiku.

Kami dijodohkan...
Sangking seringnya lari dari pertanyaan umi sama abah soal urusan nikah ini, tapi hari itu aku gak bisa mengelak. Usiaku  waktu itu 21 tahun. Memang usia yang rawan banget. Usia dimana emang udah harus memutuskan jalan terbaik buat kedepannya. Mau nikah, atau mau lanjut kuliah, atau justru pilih jadi wanita karir dulu. Semuanya bakal dijabanin sama orang tua. Tapi, sikap mereka g bisa boong lah, pengen aku nikah.

Atau cuma perasaan  aku aja? Hiks...
Gak tau, ...
Tapi rasanya terjebak aja sama kalimat abah yang amat syahdu waktu itu.
"Anak-anak abah itu perempuan semua, tanggung jawabnya besar banget. Soal jodoh, cobalah serahkan ke abah. Sebagai orang tua, kami g mungkin menawarkan sosok yang gak baik buat kalian. Apalagi diiming imingi harta."
Apa yang harus ditakutkan dari sebuah perjodohan? Toh gak akan ada paksaan, semua tetap dikembalikan kepada anak anak masing masing, gak cocok, ya Sudah cari yang lain. Tapi yang jelas, jalannya harus halal.
"Apa coba? Apa? Apa sebagai orang tua kami akan serahkan kepada laki laki yang g bertangung jawab? Atau takut laki laki itu gak ganteng? Gak berpendidikan? Tolak ukur kami sudah ada. Yang terbaik lah buat anak anak"
Kepikiran juga kan? Iya ya, dimana ada sosok yang sempurna? Gak akan ketemu. Pada akhirnya sempurna itu dari hati. Ketika hati mampu menerima kekurangan pasangan apa adanya. Apalagi orang tua yang pilih kan. Dengan trek record menjalani jatuh bangun kehidupan rumah tangga jauh lebih lama dari aku sendiri. Sementara daku mah apa atuh? Anak muda labil yang kalau jatuh cinta aja gak jelas, huehue
Satu satunya masalah kala itu cuma satu!
Cinta ...
Hiks...

Aku belum cinta sama si calon. Milih calon pendamping, kayak milih barang. Gak bisa sreg... adaaaa aja gangguan hatinya.

"Ya udah.. kalo kamu punya calon, ayuk deh bawa sini. Kita halalkan jalannya," kata orang tua. Hiii maksa banget yak. Tapi emang hati gak bisa bohong, pengen nikah cuma belum siap alias belum kebayang apa apa. Kita kan masih muda, gimana nasib masa mudaku? Begitulah kira kira rasa baper plus galau mengikuti.
Kita g punya calon, gak punya juga orang yang dipingin, atau dikagumi. Waktu itu lagi ringsek sama skripsi, yang boro boro sempet mikirin perasaaan, huehue.
Ya udah.... jadi fix, ikut pilihan abah. Dan sekali lagi masalahnya cuma satu. Gue belum bisa cinta T_T

Ah sudahlah, toh ikhtiar dan doa udah dikencangin. Prosesnya dijaga ketat banget. Jangan kan ada adegan ketemuan, sms pun gak boleh. Semua harus lewat orang tua.  Diriku kan jadi bertanya tanya, ini orang kok mau banget ya dijodohin gini gini amat amat sama aku?

Pas ta'aruf akunya kabur? Haduuuh... perasaan waktu itu campur aduk banget. Berasa kalo waktu itu aku labil dan kekanak kanakan banget. Sampai hari ini aja kalo itu diingetin sama suami, akunya maluuu banget dan sukses bikin si doi ketawa ngakak mempermalukan.
Jadi pertama kali ketemu doi ya pas photo gandeng, sueer. Baru bisa liat dari dekat, ya pas itu. Biasanya? Liat dari jarak jauh, ngeker, Jiaaahaha.
Termasuk pas lamaran, itu belum ngeh banget. Who is he? Pokoknya serahin aja semua sama orang tua, dan pastinya sama Allah. Kencengin doa...

Jeda jarak khitbah sama ijab kabul hanya sebulan. MasyaAllah... itu aja berat banget jaga hatinya T_T. Buat g kepo dan g kepikiran doi aja susah banget. Galau deg deg ser tiap namanya disebut. Gimana kalo ditunda tunda sama setahun atau lebih atau sampai kiamat, Haha ah lebay lu.

Harapannya, sucinya pernikahan ini kita dijauhkan dari konflik konflik dan takdir buruk di rumah tangga kami.

Dan tau gak sodara sodara, gimana rasanya dijodohin? Anteng? Enggak brow...  masalah tetap aja ada. Huaaa... tetep kok? Kita tetap bertengkar, egois, labil. Wah pokoke lah... marem  banget. Gak ada dewasa dewasanya. Doi waktu itu 24 tahun usianya. Dan tahu kapan sembuhnya? Pas anak anak udah lahir, hihi.

MasyaAllah, Subhanallah, wa Alhamdulilah...

Sekarang buntut kita udah dua. Justru mikir kalau mau berantem. Eman eman tenaga sama pikiran. Udah lah, ngalah sebelum yang lain juga ngalah. Hihi.

Semoga Allah senantiasa merahmati perjalanan cinta kami. Sesuatu yang allah tumbuhkan setelah menikah. Semoga Nilai sakinah mawadah wa rohmah senantiasa menjadi penyemangat dan hadirkan di rumah tangga kami. Amiin..

Nah, sekian di nostalgia kali ini ya. Hari ini adalah 2 tahun 7 bulannya kami. Masih seger ya? Ehh... tua kali, Wkwkw.

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men