Ringkih dan pahit
Di sore cerah hari itu,
aku menerima kunjungan kecil dari gadis-gadis kecil santri disebelah rumah yang
akan meminjam buku. Percakapan kami mengutus pada satu titik keibaan. Iba akan
hidup kami, hidup mereka dan hidupku.
Mereka masih 12 tau 13
an tahun. Usia yang pernah aku lewati. Lugu, polos dan innocent. Tapi lebih dari
itu, mereka paham akan apa yang mereka jalani, sebagian. Sebagian lagi tidak.
Percakapan saat itu,
“Kak, punya pacar? Ada yang
kakak suka?”
Ragu. Tapi aku
menggeleng. ‘Suka’? harusnya mereka tanya, apa ada yang kukagumi? Tapi karena
bukan lahir dari kalangan psikolog, aku tak berani berpikir jelas ke arah mana
pembicaraanku pada akhirnya, jadi aku hanya mencoba-coba menjawab.
“Memang aneh ya,
seumuran kakak gak pacaran?” tanyaku pada mereka.
“Ustadzah bilang gak
boleh kak, tapi nanti kalau saya SMA saya mau punya pacar..,” salah satu
menjawab.
Aku tertegun. Jawaban apa
itu. Aku memutar otak. Pusing.
Mereka adalah seorang
santri, tapi aku tak menyalahkan bagaimana mereka bisa berpikir semacam itu. Hanya
saja, kadang-kadang pikiran semacam itu mucul justru ketika kita sudah menjauh
dari lingkungan pondok. Seseorang pernah mengolokku (menurutku), ketika aku
berkomentar tentang hidup kami yang sudah semakin menjauh dari dunia pondok.
Katanya “Mentang-mentang
kamu hidup di lingkungan baik, lantas menganggap teman-teman lain menyimpang,”
Hah! Benar kah? Aku juga
tak sesuci itu, tapi aku juga senaïf itu meninggalkan semua norma. Apapun yang
masih tersisa dalam diriku adalah murni karena ketakutanku pada Allah, bukan
orang tua atau tanggapan ringan lingkungan.
Kembali ke sore itu..
“Adik-adik.. kalian SMA
masuk pesantren lagi aja, Soalnya…,”aku tak punya alasan pasti. Hanya supaya
kalian tetap sholehah. Just it. Meskipun
tak menjamin.
“Soalnya apa kak?”
“Soalnya… kalian pasti
bakalan rindu sama kebersamaan di asrama.”
“Tapi, kami benci sama
hukumannya kak. Ini itu gak boleh, dikit-dikit hukuman.”
“Hukuman di dunia itu
masih kecil, cuma supaya kita tak lagi melanggar, tapi kalau di luar sana kita
bebas, tak ada yang menegur, terus-terus-dan terus melakukan pelanggaran. Hukuman
Allah menunggu di sana.” jawabku.
Tapi sebenarnya, gadis
sepolos kalian tak akan pernah mengerti. Betapa menyakitkannya hidup diantara
dunia kebebasan. Keistiqomahan kalian teruji. Dunia yang munafik akan tampak
indah tapi sesungguhnya pahit. Tawa kalian hambar, hampa. Bagaimana aku menjelaskannya
ya.
Aku ingat, hari-hari
ketika akan melanjutkan kuliah. Aku mengajukan proposal untuk memilih jurusan
tahfidz.
“Abah.. aku ingin ke Mesir, jadi biarkan aku memilih jurusan ini.” Bukan! Alasan sesungguhnya adalah aku tak berani menjelajahi dunia bebas. Dan Tak Ingin!
Ditolak.
Orang tuaku melihat
nilai akdemikku selama ini, seharusnya masuk PTN.
Dan sekarang, semua
ketakutanku nyata. Itu tak mudah. Pahit sekali adik-adik kalau kalian mau tahu
bagaimana rasanya. Menyesakkan. Kemana-mana kalian melihat ke’tabu’an. Orang-orang
yang berpihak di jalan dakwah, bekerja keras dari yang seharusnya. Apalagi yang
tak sudi bekerja. Apalagi yang meninggalkan.
Kalian akan melihat
bagaimana orang-orang meminjam nama
agama hanya sebagai ‘tameng’.
Ya Allah, aku bahkan
manusia yang masih harus diurusi, diperbaiki, dan dilayani dalam hal ini. Lalu bagaimana
dengan kehidupan sekitar kita, kita juga? Atau diam saja?
“Kak,” seseorang
membuyarkan lamunanku.
“Ya..,”
“Kakak serius gak punya
pacar?”
Huft…
2 komentar :
ini baru kah ziah...?
iya lim baru... tapi galaunya udah lama.. haha
Posting Komentar