Selama berada di bangku kuliah, bisa
dihitung jari berapa kali aku membeli novel. Jangan dikira novel tak berguna,
hanya sebagai hiburan. Aku mendapat banyak pelajaran hidup dari novel, sangat
banyak. Itu alasan alami yang ada kenapa aku lebih suka novel dibandingkan
cerpen, buku pelajaran, buku non fiksi apalagi puisi. Rasanya seperti mengunyah
silver queen, kita cari cokelatnya yang bisa berefek menenangkan tapi disisi
lain kita dapat kacang dan karemal yang lembut (makanan lagi -_-‘). Itulah kenapa
novel adalah proyek terbesar dalam status kerjaan ‘mengoleksi’ku.
Tapi semua berakhir saat kuliah. (1)Karena
sibuk? Aaahh.. klasik!
(2)Jadi, gak ada uang? Hmm.. bisa jadi. Mungkin
karena setiap mendapat tunjangan untuk membeli buku, yang terpikir di otakku
adalah membeli buku kuliah yang tebalnya luar biasa. Yang ada di otakku selama
kuliah adalah mengejar, memahami, menafsirkan, mengerjakan, mentransfer semua
ilmu yang dapat. Belum sampai pada tahap ‘sangat’ menikmati seperti ketika
menikmati Harry Potter atau novel lain. Gak ada yang bikin ketagihan. Semua dibaca
saat butuh. Tok!
Dan alasan lain, adalah (3)aku
kehilangan setengah dari semua koleksi bukuku? Ah alay!
Nggak! Ini serius. Setelah beberapa kali
kehilangan koleksi, aku mulai rajin mencatat semua buku yang ku beli. Kadang-kadang
orang yang pinjam pun aku catat.
“ Alay
ya! Lebay! Hiperprotektif!” Mungkin gitu teriak buku-bukuku.
“
Nggak lah, itu karena aku sayang kalian! Sangat..sangat sayang!”
(Ternyata penulisnya memang Alay. ahaha)
Kalau ada waktu luang (semasa kuliah)
karena koleksi novelku tidak bertambah, terpaksa aku menyibukkan diri
membersihakan perpustakaan mini ku. Sambil melihat-lihat catatan bukuku yang
tersisa dan yang hilang, aku sampai bisa menangis.
Ini bukan karena alay! Siapa yang tidak
sedih kalau barang yang dicintainya hilang. Terlebih perjuangan dalam
mengumpulkan semua koleksi itu. Apalagi kalau yang hilang buku kesayangan. Aku pasti
kejar sampai dapat. Fuihh…huh!
Sejujurnya aku menyesal. Menyesal Karena
sudah mencatat semua buku-bukuku.
Aku bisa menangis kalau mulai mendata
buku-buku koleksi tapi ternyata hilang, atau –bahkan- aku menemukan bukuku
dalam keadaan berdebu sangking lamanya tak tersentuh.
Tapi kemudian,
Alasan realitisnya mulai aku pertanyakan
pada diri sendiri.
Memang
koleksi buku kamu itu buat apa? Di bawa mati?
Ahh.. ya nggak dibawa mati memang sih. Tapi
loh, itu benda kesayangan kita. Bayangin apapun yang kita sayang hilang, udah
gak ada. Sedih kan?
Nah,
kalau begitu niat kamu membeli buku itu kenapa?
Karena aku suka, aku pengen banget dapat
pelajaran, pengalaman, ilmu dan cita-cita yang gak pernah aku dapatkan di
kuliah, sekolah, organisasi, yah pokoknya selama aku menjalani hidup.
Buku-buku
yang hilang itu udah kamu baca? Udah dapat hikmahnya?
Ya udahlah, pasti kan kalau habis beli
langsung baca toh
Kalau
gitu, buku yang hilang itu lebih bermanfaat di tangan orang lain. Efek bagusnya,
Alhamdulillah kamu gak pelit minjamin buku ke orang. Kan ada tuh, orang yang
pelit banget kalau pinjamin buku. Yang gak boleh kusut lah, gak boleh terlipat
lah, gak boleh tercoret lah, pokoknya sampai ngalahin menjaga al-qur’annya aja.
Itu karena dia sayang bukunya kan. Lagian
aku juga begitu. Siapa yang mau benda kesayangannya rusak, lecek. Huh!
Nah,
kalau gitu sekarang ketemu masalahnya. Kalau terlalu takut buku atau benda
kesayangan kamu itu rusak. Now, ubah pandangan kamu. Bayangkan setelah kamu
mendapat hiburan dari buku kamu. Setelah mendapatkan hikmah, setelah mendapatkan
apa yang kamu inginkan. Buku itu berpindah tangan kepada orang yang juga
menjaga buku itu. Menyampuli,membersihkannya dan mengambil hikmahnya. Bukannya menjatuhkan,
merusak, merobek dan hal buruk lainnya.
Dalam diam aku terkejut dengan pikiranku
sendiri. Dan sebelum aku mengakhiri dengan titik, aku ingin berucap mantap. Aku
lega!