Rabu, Desember 12, 2012

Mutiara Yang Hilang



            Zaid merebahkan tubuhnya diatas sofa apartemennya. Tubuhnya sangat lelah. Ia memejamkan mata. Dan membukanya saat sahabatnya, Hamzah, keluar dari kamar mandi. Di pundaknya tergantung handuk.
            “Zaid, mandilah dulu! Lima belas menit lagi adzan maghrib. Kita sholat di masjid Al-Islam saja. Biar sekalian bisa makan di Kallyshop.”
            Zaid mendesah mendengar penuturan Hamzah. Ada setumpuk kelelahan di wajahnya.
            “Mungkin aku sholat disini saja, Hamzah. Aku sangat lelah, “kata Zaid.
            Hati Hamzah kecewa. Akhir-akhir ini kesibukan Zaid membuatnya jarang sholat di masjid. Tapi, ia berusaha mengerti sahabatnya itu. Ia memang kelelahan.
            “Baiklah, Zaid. Biar aku saja yang ke masjid. Kau istirahat saja. Nanti biar kubelikan makan malam.”
            Zaid berterima kasih dalam hati. Ia memang lelah sekali.
            “Tapi jangan lupa mandi dan sholat sunnahnya, “pesan Hamzah padanya, Zaid hanya mengangguk.
            Hari ini ia banyak sekali meeting. Siapa sangka seorang Zaid ternyata supersibuk. Usianya terpaut muda untuk menjadi mahasiswa di Universitas Oxford jurusan Fisika, meski baru semester empat. Belum lagi tawaran di sebuah pabrik ternama di London dengan jabatan yang lumayan. Tapi luar biasa bagi seorang Zaid yang masih remaja. Masa remajanya di International Senior High School hanya dilewatinya selama dua tahun. Itu semua karena otaknya yang begitu encer.
***
            4 tahun silam
            “Benarkah Ustadz? “seru Zaid tak percaya. Di depannya Ustadz Abu Bakar, Kepala Sekolah di sekolah Al-Mu’minun, tempatnya belajar, hanya tersenyum.
            “Beasiswa ini….sungguh…saya…, “ulang Zaid tak percaya.
            “Kupikir ini bukan kejutan Zaid. Semua sudah menduga kaulah yang akan berhasil! Dan kurasa itu juga yang kau harapkan, “ kata Beliau.
            “Saingan saya banyak sekali Ustadz. Jadi….sungguh, saya….saya masih belum percaya.”
            Ustadz Abu Bakar tertawa sekedarnya.
            “Zaid….Zaid. Kau ini! Sungguh rendah hati, “bisik Ustadz. “Aku akan heran kalau ada guru atau temanmu yang mengatakan bahwa kau tak pantas dapatkan beasiswa ini.”
            Zaid tersipu. Mukanya merah.
            “Sekarang pulanglah! Sampaikan kabar gembira ini pada orang tuamu.”
            Zaid mengangguk. Ia segera pamit untuk pulang. Ia berlari sekencang-kencangnya. Rasanya pemandangan sekitar sungguh indah, sesuai dengan perasaannya yang sedang berbunga. Digenggamnya kertas beasiswa itu dengan erat.
            Zaid kecil berusia empat belas tahun. Berlari kencang membawa kabar gembira untuk Ummi dan Abi di rumah. Ia berhasil mendapatkan beasiswa yang sangat langkat. Bersekolah di Inggris. Ah……senangnya, orang tua Zaid mungkin mampu membiayainya. Namun, mendapatkan beasiswa jelas memiliki kebahagiaan tersendiri.
            Zaid kecil tak menyadari. Lima pesawat militer angkasa udara milik Israel tepat diatasnya. Menjalankan misinya menghancurkan Palestina.
            “DUAAArrrR………., “Bom itu jatuh lima meter tepat didepannya. Ia terkejut dan berhenti dari larinya. Saat ia menyadari musuh diatasnya. Seseorang menarik tangannya untuk berlindung.
            “Paman Abdullah, ada apa ini?” Tanya Zaid panik. Mereka bersembunyi di tempat yang aman.
            “Entahlah Zaid. Mungkin Israel menyerang lagi.”
            Zaid menyebut nama Allah berulang kali. Di luar persembunyiannya mulai terdengar suara kepanikan amat sangat. Suara-suara jeritan menyayat mulai terdengar disertai suara ledakan yang merusak gendang telinga.
            “Abi….!!!” Teriak Zaid saat melihat sosok ayahnya berlari bersama puluhan laki-laki lainnya. Mereka membawa senjata api. Tapi masih tak sebanding dengan senjata musuh.
            Zaid kecil hampir saja keluar dari tempat persembunyiannya untuk mengejar Abi. Tapi tangan paman Abdullah lebih dulu menggenggam lengannya.
            “Jangan Zaid! Biarkan saja Abimu. Beliau adalah mujahid. Biarkan beliau berjuang untuk tanah Palestina, “ paparnya menenangkan Zaid.
            Keadaan semakin kacau balau. Mayat-mayat mulai bergelimpangan dimana-mana. Batin Zaid menjerit. Amarahnya kian membuncah. Apalagi tanpa sengaja Zaid melihat sebuah peluru menembus tulang rusuk Abi. Sosok yang tegap itu roboh seketika. Zaid terpana.
            “Abi. Tidak! Abi……!!! ABI!!!!! “jeritnya tak terkendali tapi paman Abdullah masih memeganginya erat.
            “Jangan Zaid! Jangan…..” larang paman Abdullah lemah. Ia juga pedih.
***
            Zaid kecil berlari begitu kencang. Meski hampir lupa jalan menuju rumahnya. Semuanya habis. Ia baru saja menyaksikan kematian Abi, sambil berlari kencang ia terus menerus menangis. Ia ingin pulang. Ia ingin bertemu Ummi dan adik-adiknya.
            Kakinya berhenti saat ia yakin yang ada didepannya itu adalah rumahnya. Tak ada yang tersisa. Halamannya hanyalah berisi puing-puing berantakan. Zaid kecil menggeleng tak percaya. Semua kejadian ini terjadi begitu cepat. Ia mencari-cari sesuatu diantara puing-puing reruntuhan rumahnya. Satu lagi yang bias ia temukan yang membuat hatinya kian teriris. “Sang Ummi terkapar tak bernyawa.”
***
            Zaid menghapus air matanya yang meleleh. Lembaran-lembaran masa lalunya muncul tiba-tiba. Ia baru sadar saat adzan maghrib berkumandang lemah.
            Hatinya pedih meski hanya kenangan. Digenggamnya foto Ummi dan Abi yang masih tersisa. Saat adzan selesai dikumandangkan. Ia bergegas ambil air wudhu dan sholat. Ia tak lupa berdo’a untuk Ummi, Abi dan juga adik-adiknya.
***
            Panti Asuhan ‘Darussa’adah’ mendadak penuh dengan anak-anak setelah kejadian dua minggu lalu atas kebiadaban Israel.
            Zaid kecil membelakangi Ustadz Abu Bakar. Sementara didepannya seorang gadis kecil bernama, Fatimah, adiknya, menatapnya lurus. Matanya berkaca-kaca.
          “Kau masih akan tetap pergi dalam keadaan begini, kak?”
          “Aku pergi bukan untuk bersenang-senang, Fatimah, “ jelas Zaid menatap Fatimah yang usianya hanya selisih satu tahun darinya.
            “Tapi Zahra masih kecil, Kak. Ia masih butuh kita, kakak-kakaknya.”
            “Aku tahu! Tapi kau dan Zahra akan lebih aman disini daripada mengikutiku ke London, “ tegas Zaid.
            “Kenapa harus pergi? “ rintih Fatimah. Air matanya mulai jatuh tak tahan.
            “Aku pergi untuk menuntut ilmu, Fatimah. Aku akan mempelajari berbagai cara untuk melawan musuh. Aku berjanji pulang jika waktunya. Aku masih punya kewajiban kalian. Dan aku tak akan lupa itu,“ janji Zaid.
            Zahra yang usianya baru dua setengah tahun hanya menatap tak mengerti kedua kakaknya yang menangis. Ia juga tak mengerti perang yang telah membunuh kedua orang tua mereka.
            “Fatimah, aku janji tak akan lama, “ janji Zaid lagi.
            Fatimah hanya diam. Ia masih menangis.
            “Jaga baik-baik Zahra, Fatimah, “ pesan Zaid.
            Fatimah masih diam. Membuat Zaid bimbang.
            “Ayolah Fatimah! Ikhlaskan aku…..” mohon Zaid.
            Fatimah tetap tak mampu menjawab. Ia masih menangis. Hatinya sangat pedih. Lukanya masih belum tertutupi. Tapi kini kakaknya melebarkan luka itu. Ia menggigit bibir bawahnya. Teringat akan Ummi dan Abi.
***
            Nyaris empat tahun Zaid mendiami London. Dengan bekal beasiswa yang ia miliki. Semakin bertambah usianya, semakin terlihat kecerdasannya yang ia miliki. Zaid berhasil menamatkan sekolah sebelum teman-temannya yang lain lulus.
            Ia lolos tanpa seleksi di Universitas bergengsi, Oxford. Semester satunya cukup terganggu dengan munculnya undangan dan permintaan untuk bekerja sama dalam bisnis. Ia sangat terpercaya, ia sukses di saat ia benar-benar masih muda.
            Kemudian muncul Hamzah sebagai seorang sahabat di tempat kuliahnya. Hamzah seorang muslim sepertinya. Seorang aktifis muda, untuk para remaja. Ia berasal dari Turki yang merantau ke London. Orang tua Hamzah adalah pejabat Turki. Tapi ia tak pernah sesombong anak-anak pejabat lainnya. Dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal satu apartemen. Agar mudah untuk saling mengingatkan. Zaid sendiri sebenarnya sudah menganggap Hamzah adalah kakaknya.
            “Jangan terlalu sibuk, Zaid. “ kata Hamzah suatu saat. Mengingat Zaid yang selalu pulang menjelang malam.
            “Tapi inilah hidupku, Hamzah. Aku memang harus bekerja keras.”
            “Kau masih muda, Zaid! Masih remaja!”
            “Aku tidak mau menghabiskan masa remajaku dengan berfoya-foya, “ kata Zaid.
            “Masa remaja tidak harus berfoya-foya. Masih banyak aktivitass positif yang bisa dilakukan.”
         “Kukatakan padamu Hamzah! Bahwa aku memang harus bekerja keras. Berbeda denganmu yang hanya menunggu kiriman ayah di Turki. Sedang aku malah harus menghidupi kedua orang adikku! “ kata Zaid berapi-api. Hamzah terdiam. Ada sebongkah kesalahan mendarat di hatinya. Ia ikut terluka. Maka ia tersenyum dan memeluk Zaid.
            “Kau sahabatku, Zaid. Aku di sini, di sampingmu. Bersedia jika kau butuh.”
***
            London Rose Park, Akhir Tahun
            Satu-satu benda putih itu melayang di udara. Semakin banyak dan menutupi RosePark. Melayukan kehijauan alam. Dinginnya menusuk hingga ke persendian. Jaket mantel berbulu domba hasil impor sari Australia mulai dikenakan.
            Langit senja menambah semarak suasana. Gradasinya begitu sempurna dilihat dari belahan bumi manapun. Kaca apartemen Zaid mulai berembun. Di luar sana orang-orang sibuk dengan persiapan pesta tahun baru. Zaid menikmatinya. Sedang Hamzah baru saja selesai menyalakan perapian. Jaket tertebalnya mampu ditembus dingin. Bahkan syal yang dililitkan di lehernya serasa tak berfungsi.
            Sementara Zaid asyik mengamati keindahan alam, Hamzah menyediakan coklat panas dan beberapa pudding special untuk sahabatnya. Bahkan saat Hp nya berbunyi ia masih tak beranjak dari depan jendela. Terpaksa Hamzah yang mengangkat.
            “Zaid, ini. Fatimah, adikmu, “ seru Hamzah. Zaid menerima Hp yang diserahkan Hamzah.
            “Assalamu’alaikum, “Zaid memulai.
            “Waalaikum salam. Bagaimana kabarmu Kak Zaid? Tanya Fatimah.
            “Aku baik-baik saja, Fatimah ada apa?”
            “Aku mengirimimu email kemarin. Namun tak ada balasan kemana saja kau?”
            Zaid kikuk. Tak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tak sempat membuka email apapun.
            “M……ma, maafkan aku, Fatimah. Akhir-akhir ini aku sibuk. Jadi……”
            “Sudah kuduga! “ sahut Fatimah. “Pantas kau lupa menghubungi kami.”
            “Bagaimana kabarmu? “ Zaid mengalihkan pembicaraan.
            “Baik! Tapi Zahra terus merengek ingin bertemu denganmu. Kau harus pulang, Kak!”
           “Fatimah……,” Zaid mencoba mengatur kata-kata. “Tolong kau beri pemahaman padanya bahwa aku sibuk. Banyak hal yang harus kukerjakan, “mohon Zaid.
            Fatimah sendiri sebenarnya sudah menyangka itulah jawaban kakanya.
            “Kau sama saja menyerahkan tanggung jawabmu atas Zahra kepadaku. Kau tahu betapa susahnya aku member ia pengertian bahwa ia kini adalah yatim piatu. Ia menangis setiap malam. Padahal ia masih kecil, seharusnya kita berdua ada disampingnya. Tapi kau pergi. Aku tak mau kalau harus kembali memberinya penjelasan, bahwa kau tak akan pulang. “ suara Fatimah semakin kecil, tapi juga serak. Mungkin ia menangis.
            “Fatimah! Aku akan pulang. Tapi entah kapan. Hanya saja saat ini aku sedang tak bisa, “ ralat Zaid. Perasaannya ikut panik, karena Fatimah menangis.
            Fatimah hanya diam.
            “Aku janji akan pulang. Katakan itu pada Zahra, tapi……..”
            “Empat tahun kau meninggalkan kami. Tidakkah rindu? Kami bahkan tak tahu bagaimana wajahmu, perubahanmu! “kata Fatimah mulai tenang.
            “Aku sudah sering mengirimi kalian fotoku.”
            Fatimah tak menjawab.
            “Maafkan aku, Fatimah!”
            Klik! Telpon ditutup oleh Fatimah. Zaid pasrah. Ia tahu mereka kecewa. Tapi ia masih punya banyak job.
***
            Wajah Palestina Zaid tersipu angin musim gugur. Sejuk dan wanginya khas. Ia bisa merasakan itu. Zaid baru saja menerima hasil ujiannya di semester ini. Sempurna! Dua jam yang lalu perusahaan Telekomunikasi di London, mengajaknya bekerja sama. Tapi ia menolak dengan halus. Rencanya ia akan pulang ke Palestina. Ia sudah sangat rindu. Zaid juga sudah mengirimkan kabar lewat email kepada Fatimah.
            Sore itu ia memilih taman bermain Flower Zone yang ada di barat London. Suasananya sangat indah saat musim gugur. Ia memilih salah satu bangku untuk duduk.
            Zaid mulai membuka laptopnya untuk mengecek email yang ia kirim.
            Tak ada jawaban…..
            “Ada apa? Emailmu belum dibalas? “tanya Hamzah yang memilih duduk disamping Zaid.
            “Sepertinya begitu.”
            “Mungkin email yang kau kirim belum sampai pada Fatimah.”
            Hh…..Zaid mendesah. Tapi email itu sudah kukirim dua hari yang lalu, batinnya.
            Nada ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kening Zaid berkerut saat melihat nomor di layar.
            “Assalamu’alaikum “sapa Zaid.
        “Waalaikum salam. Zaid ini paman Abdullah. “Zaid makin heran. Ini memang kejutan. Tapi suara paman Abdullah seperti kelelahan. Nafasnya memburu.
            “Subhanallah, paman Abdullah. Ada apa?”
       “Alhamdullilah, Zaid. Akhirnya……aku bisa menghubungimu. Ada kabar buruk, “suara paman Abdullah semakin cepat.
            “Ka, Kabar buruk, paman?”
            Firasatnya mulai bermain. Wajah Fatimah dan Zahra melayang-layang dibenaknya.
            “Dua hari yang lalu Fatimah meminta izinku untuk pergi ke London. Ia membawa Zahra yang terus menangis ingin menemuimu. Dan aku pikir ia sudah mengabarimu, Zaid. Tapi ternyata belum sampai bandara……, “paman Abdullah tak melanjutkan ucapannya. Mata bening Zaid sudah berkaca-kaca.
            “Lanjutkan…”kata Zaid parau.
            “Sama seperti empat tahun silam. Tentara Israel kembali menyerang tanah Palestina. Itulah sebabnya aku kesusahan menghubungimu. Semua aliran putus. Dan, Ehm….Fatimah ditemukan dalam keadaan memeluk Zahra. Mereka sudah tak bernyawa……”
            Ponsel ditangannya terlepas. Rasanya ia tengah tak punya hati. Zaid tak mengerti siapa yang harus disalahkan. Dirinya kah? Ia benar-benar sudah kehilangan semuanya. Keluarga, mutiara terindah kata orang. Tapi……
            Hujan turun mendadak. Membasahi daun-daun kering di musim gugur. Ia tak lagi mampu mencium wangi hujan di musim gugur. Air matanya mengalir bersama hujan.






                                                                                                               Taman Flower Zone
                                                                                                                  Fauziah XI IPA 1


0 komentar :

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men