Zaid merebahkan tubuhnya diatas sofa apartemennya.
Tubuhnya sangat lelah. Ia memejamkan mata. Dan membukanya saat sahabatnya,
Hamzah, keluar dari kamar mandi. Di pundaknya tergantung handuk.
“Zaid, mandilah dulu! Lima belas menit lagi adzan
maghrib. Kita sholat di masjid Al-Islam saja. Biar sekalian bisa makan di Kallyshop.”
Zaid mendesah mendengar penuturan Hamzah. Ada setumpuk
kelelahan di wajahnya.
“Mungkin aku sholat disini saja, Hamzah. Aku sangat
lelah, “kata Zaid.
Hati Hamzah kecewa. Akhir-akhir ini kesibukan Zaid
membuatnya jarang sholat di masjid. Tapi, ia berusaha mengerti sahabatnya itu.
Ia memang kelelahan.
“Baiklah, Zaid. Biar aku saja yang ke masjid. Kau
istirahat saja. Nanti biar kubelikan makan malam.”
Zaid berterima kasih dalam hati. Ia memang lelah sekali.
“Tapi jangan lupa mandi dan sholat sunnahnya, “pesan
Hamzah padanya, Zaid hanya mengangguk.
Hari ini ia banyak sekali meeting. Siapa sangka seorang Zaid ternyata supersibuk. Usianya
terpaut muda untuk menjadi mahasiswa di Universitas Oxford jurusan Fisika,
meski baru semester empat. Belum lagi tawaran di sebuah pabrik ternama di
London dengan jabatan yang lumayan. Tapi luar biasa bagi seorang Zaid yang
masih remaja. Masa remajanya di International Senior High School hanya
dilewatinya selama dua tahun. Itu semua karena otaknya yang begitu encer.
***
4 tahun silam
“Benarkah Ustadz? “seru Zaid tak
percaya. Di depannya Ustadz Abu Bakar, Kepala Sekolah di sekolah Al-Mu’minun,
tempatnya belajar, hanya tersenyum.
“Beasiswa ini….sungguh…saya…, “ulang
Zaid tak percaya.
“Kupikir ini bukan kejutan Zaid.
Semua sudah menduga kaulah yang akan berhasil! Dan kurasa itu juga yang kau
harapkan, “ kata Beliau.
“Saingan saya banyak sekali Ustadz.
Jadi….sungguh, saya….saya masih belum percaya.”
Ustadz Abu Bakar tertawa sekedarnya.
“Zaid….Zaid. Kau ini! Sungguh rendah
hati, “bisik Ustadz. “Aku akan heran kalau ada guru atau temanmu yang
mengatakan bahwa kau tak pantas dapatkan beasiswa ini.”
Zaid tersipu. Mukanya merah.
“Sekarang pulanglah! Sampaikan kabar
gembira ini pada orang tuamu.”
Zaid mengangguk. Ia segera pamit
untuk pulang. Ia berlari sekencang-kencangnya. Rasanya pemandangan sekitar
sungguh indah, sesuai dengan perasaannya yang sedang berbunga. Digenggamnya
kertas beasiswa itu dengan erat.
Zaid kecil berusia empat belas
tahun. Berlari kencang membawa kabar gembira untuk Ummi dan Abi di rumah. Ia
berhasil mendapatkan beasiswa yang sangat langkat. Bersekolah di Inggris.
Ah……senangnya, orang tua Zaid mungkin mampu membiayainya. Namun, mendapatkan
beasiswa jelas memiliki kebahagiaan tersendiri.
Zaid kecil tak menyadari. Lima
pesawat militer angkasa udara milik Israel tepat diatasnya. Menjalankan misinya
menghancurkan Palestina.
“DUAAArrrR………., “Bom itu jatuh lima
meter tepat didepannya. Ia terkejut dan berhenti dari larinya. Saat ia
menyadari musuh diatasnya. Seseorang menarik tangannya untuk berlindung.
“Paman Abdullah, ada apa ini?” Tanya
Zaid panik. Mereka bersembunyi di tempat yang aman.
“Entahlah Zaid. Mungkin Israel
menyerang lagi.”
Zaid menyebut nama Allah berulang
kali. Di luar persembunyiannya mulai terdengar suara kepanikan amat sangat.
Suara-suara jeritan menyayat mulai terdengar disertai suara ledakan yang
merusak gendang telinga.
“Abi….!!!” Teriak Zaid saat melihat
sosok ayahnya berlari bersama puluhan laki-laki lainnya. Mereka membawa senjata
api. Tapi masih tak sebanding dengan senjata musuh.
Zaid kecil hampir saja keluar dari
tempat persembunyiannya untuk mengejar Abi. Tapi tangan paman Abdullah lebih
dulu menggenggam lengannya.
“Jangan Zaid! Biarkan saja Abimu.
Beliau adalah mujahid. Biarkan beliau berjuang untuk tanah Palestina, “ paparnya
menenangkan Zaid.
Keadaan semakin kacau balau.
Mayat-mayat mulai bergelimpangan dimana-mana. Batin Zaid menjerit. Amarahnya
kian membuncah. Apalagi tanpa sengaja Zaid melihat sebuah peluru menembus
tulang rusuk Abi. Sosok yang tegap itu roboh seketika. Zaid terpana.
“Abi. Tidak! Abi……!!! ABI!!!!!
“jeritnya tak terkendali tapi paman Abdullah masih memeganginya erat.
“Jangan Zaid! Jangan…..” larang paman
Abdullah lemah. Ia juga pedih.
***
Zaid kecil berlari begitu kencang.
Meski hampir lupa jalan menuju rumahnya. Semuanya habis. Ia baru saja
menyaksikan kematian Abi, sambil berlari kencang ia terus menerus menangis. Ia
ingin pulang. Ia ingin bertemu Ummi dan adik-adiknya.
Kakinya berhenti saat ia yakin yang
ada didepannya itu adalah rumahnya. Tak ada yang tersisa. Halamannya hanyalah
berisi puing-puing berantakan. Zaid kecil menggeleng tak percaya. Semua
kejadian ini terjadi begitu cepat. Ia mencari-cari sesuatu diantara puing-puing
reruntuhan rumahnya. Satu lagi yang bias ia temukan yang membuat hatinya kian
teriris. “Sang Ummi terkapar tak bernyawa.”
***
Zaid menghapus air matanya yang meleleh.
Lembaran-lembaran masa lalunya muncul tiba-tiba. Ia baru sadar saat adzan
maghrib berkumandang lemah.
Hatinya pedih meski hanya kenangan. Digenggamnya foto
Ummi dan Abi yang masih tersisa. Saat adzan selesai dikumandangkan. Ia bergegas
ambil air wudhu dan sholat. Ia tak lupa berdo’a untuk Ummi, Abi dan juga
adik-adiknya.
***
Panti Asuhan ‘Darussa’adah’ mendadak penuh dengan
anak-anak setelah kejadian dua minggu lalu atas kebiadaban Israel.
Zaid kecil membelakangi Ustadz Abu Bakar. Sementara didepannya
seorang gadis kecil bernama, Fatimah, adiknya, menatapnya lurus. Matanya
berkaca-kaca.
“Kau masih akan tetap pergi dalam keadaan begini, kak?”
“Aku pergi bukan untuk bersenang-senang, Fatimah, “ jelas
Zaid menatap Fatimah yang usianya hanya selisih satu tahun darinya.
“Tapi Zahra masih kecil, Kak. Ia masih butuh kita,
kakak-kakaknya.”
“Aku tahu! Tapi kau dan Zahra akan lebih aman disini
daripada mengikutiku ke London, “ tegas Zaid.
“Kenapa harus pergi? “ rintih Fatimah. Air matanya mulai
jatuh tak tahan.
“Aku pergi untuk menuntut ilmu, Fatimah. Aku akan
mempelajari berbagai cara untuk melawan musuh. Aku berjanji pulang jika
waktunya. Aku masih punya kewajiban kalian. Dan aku tak akan lupa itu,“ janji
Zaid.
Zahra yang usianya baru dua setengah
tahun hanya menatap tak mengerti kedua kakaknya yang menangis. Ia juga tak
mengerti perang yang telah membunuh kedua orang tua mereka.
“Fatimah, aku janji tak akan lama,
“ janji Zaid lagi.
Fatimah hanya diam. Ia masih
menangis.
“Jaga baik-baik Zahra, Fatimah,
“ pesan Zaid.
Fatimah masih diam. Membuat Zaid
bimbang.
“Ayolah Fatimah! Ikhlaskan
aku…..” mohon Zaid.
Fatimah tetap tak mampu menjawab. Ia
masih menangis. Hatinya sangat pedih. Lukanya masih belum tertutupi. Tapi kini
kakaknya melebarkan luka itu. Ia menggigit bibir bawahnya. Teringat akan Ummi
dan Abi.
***
Nyaris empat tahun Zaid mendiami London. Dengan bekal
beasiswa yang ia miliki. Semakin bertambah usianya, semakin terlihat
kecerdasannya yang ia miliki. Zaid berhasil menamatkan sekolah sebelum teman-temannya
yang lain lulus.
Ia lolos tanpa seleksi di Universitas bergengsi, Oxford.
Semester satunya cukup terganggu dengan munculnya undangan dan permintaan untuk
bekerja sama dalam bisnis. Ia sangat terpercaya, ia sukses di saat ia
benar-benar masih muda.
Kemudian muncul Hamzah sebagai seorang sahabat di tempat
kuliahnya. Hamzah seorang muslim sepertinya. Seorang aktifis muda, untuk para
remaja. Ia berasal dari Turki yang merantau ke London. Orang tua Hamzah adalah
pejabat Turki. Tapi ia tak pernah sesombong anak-anak pejabat lainnya. Dan pada
akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal satu apartemen. Agar mudah untuk
saling mengingatkan. Zaid sendiri sebenarnya sudah menganggap Hamzah adalah
kakaknya.
“Jangan terlalu sibuk, Zaid. “ kata Hamzah suatu saat.
Mengingat Zaid yang selalu pulang menjelang malam.
“Tapi inilah hidupku, Hamzah. Aku memang harus bekerja
keras.”
“Kau masih muda, Zaid! Masih remaja!”
“Aku tidak mau menghabiskan masa remajaku dengan
berfoya-foya, “ kata Zaid.
“Masa remaja tidak harus berfoya-foya. Masih banyak
aktivitass positif yang bisa dilakukan.”
“Kukatakan padamu Hamzah! Bahwa aku memang harus bekerja
keras. Berbeda denganmu yang hanya menunggu kiriman ayah di Turki. Sedang aku
malah harus menghidupi kedua orang adikku! “ kata Zaid berapi-api. Hamzah
terdiam. Ada sebongkah kesalahan mendarat di hatinya. Ia ikut terluka. Maka ia
tersenyum dan memeluk Zaid.
“Kau sahabatku, Zaid. Aku di sini, di sampingmu. Bersedia
jika kau butuh.”
***
London Rose Park,
Akhir Tahun
Satu-satu benda putih itu melayang di udara. Semakin
banyak dan menutupi RosePark. Melayukan kehijauan alam. Dinginnya menusuk
hingga ke persendian. Jaket mantel berbulu domba hasil impor sari Australia
mulai dikenakan.
Langit senja menambah semarak suasana. Gradasinya begitu
sempurna dilihat dari belahan bumi manapun. Kaca apartemen Zaid mulai berembun.
Di luar sana orang-orang sibuk dengan persiapan pesta tahun baru. Zaid
menikmatinya. Sedang Hamzah baru saja selesai menyalakan perapian. Jaket
tertebalnya mampu ditembus dingin. Bahkan syal yang dililitkan di lehernya
serasa tak berfungsi.
Sementara Zaid asyik mengamati keindahan alam, Hamzah
menyediakan coklat panas dan beberapa pudding special untuk sahabatnya. Bahkan
saat Hp nya berbunyi ia masih tak beranjak dari depan jendela. Terpaksa Hamzah
yang mengangkat.
“Zaid, ini. Fatimah, adikmu, “ seru Hamzah. Zaid menerima
Hp yang diserahkan Hamzah.
“Assalamu’alaikum, “Zaid memulai.
“Waalaikum salam. Bagaimana kabarmu Kak Zaid? Tanya
Fatimah.
“Aku baik-baik saja, Fatimah ada apa?”
“Aku mengirimimu email kemarin. Namun tak ada balasan
kemana saja kau?”
Zaid kikuk. Tak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tak
sempat membuka email apapun.
“M……ma, maafkan aku, Fatimah. Akhir-akhir ini aku sibuk.
Jadi……”
“Sudah kuduga! “ sahut Fatimah. “Pantas kau lupa
menghubungi kami.”
“Bagaimana kabarmu? “ Zaid mengalihkan pembicaraan.
“Baik! Tapi Zahra terus merengek ingin bertemu denganmu.
Kau harus pulang, Kak!”
“Fatimah……,” Zaid mencoba mengatur kata-kata. “Tolong kau
beri pemahaman padanya bahwa aku sibuk. Banyak hal yang harus kukerjakan,
“mohon Zaid.
Fatimah sendiri sebenarnya sudah menyangka itulah jawaban
kakanya.
“Kau sama saja menyerahkan tanggung jawabmu atas Zahra
kepadaku. Kau tahu betapa susahnya aku member ia pengertian bahwa ia kini
adalah yatim piatu. Ia menangis setiap malam. Padahal ia masih kecil,
seharusnya kita berdua ada disampingnya. Tapi kau pergi. Aku tak mau kalau
harus kembali memberinya penjelasan, bahwa kau tak akan pulang. “ suara Fatimah
semakin kecil, tapi juga serak. Mungkin ia menangis.
“Fatimah! Aku akan pulang. Tapi entah kapan. Hanya saja
saat ini aku sedang tak bisa, “ ralat Zaid. Perasaannya ikut panik, karena
Fatimah menangis.
Fatimah hanya diam.
“Aku janji akan pulang. Katakan itu pada Zahra, tapi……..”
“Empat tahun kau meninggalkan kami. Tidakkah rindu? Kami
bahkan tak tahu bagaimana wajahmu, perubahanmu! “kata Fatimah mulai tenang.
“Aku sudah sering mengirimi kalian fotoku.”
Fatimah tak menjawab.
“Maafkan aku, Fatimah!”
Klik! Telpon ditutup oleh Fatimah. Zaid pasrah. Ia tahu
mereka kecewa. Tapi ia masih punya banyak job.
***
Wajah Palestina Zaid tersipu angin musim gugur. Sejuk dan
wanginya khas. Ia bisa merasakan itu. Zaid baru saja menerima hasil ujiannya di
semester ini. Sempurna! Dua jam yang lalu perusahaan Telekomunikasi di London,
mengajaknya bekerja sama. Tapi ia menolak dengan halus. Rencanya ia akan pulang
ke Palestina. Ia sudah sangat rindu. Zaid juga sudah mengirimkan kabar lewat
email kepada Fatimah.
Sore itu ia memilih taman bermain Flower Zone yang ada di barat London. Suasananya sangat indah saat
musim gugur. Ia memilih salah satu bangku untuk duduk.
Zaid mulai membuka laptopnya untuk mengecek email yang ia
kirim.
Tak ada jawaban…..
“Ada apa? Emailmu belum dibalas? “tanya Hamzah yang
memilih duduk disamping Zaid.
“Sepertinya begitu.”
“Mungkin email yang kau kirim belum sampai pada Fatimah.”
Hh…..Zaid mendesah. Tapi email itu sudah kukirim dua hari
yang lalu, batinnya.
Nada ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kening Zaid berkerut
saat melihat nomor di layar.
“Assalamu’alaikum “sapa Zaid.
“Waalaikum salam. Zaid ini paman Abdullah. “Zaid makin
heran. Ini memang kejutan. Tapi suara paman Abdullah seperti kelelahan.
Nafasnya memburu.
“Subhanallah, paman Abdullah. Ada apa?”
“Alhamdullilah, Zaid. Akhirnya……aku bisa menghubungimu.
Ada kabar buruk, “suara paman Abdullah semakin cepat.
“Ka, Kabar buruk, paman?”
Firasatnya mulai bermain. Wajah Fatimah dan Zahra
melayang-layang dibenaknya.
“Dua hari yang lalu Fatimah meminta izinku untuk pergi ke
London. Ia membawa Zahra yang terus menangis ingin menemuimu. Dan aku pikir ia
sudah mengabarimu, Zaid. Tapi ternyata belum sampai bandara……, “paman Abdullah
tak melanjutkan ucapannya. Mata bening Zaid sudah berkaca-kaca.
“Lanjutkan…”kata Zaid parau.
“Sama seperti empat tahun silam. Tentara Israel kembali
menyerang tanah Palestina. Itulah sebabnya aku kesusahan menghubungimu. Semua
aliran putus. Dan, Ehm….Fatimah ditemukan dalam keadaan memeluk Zahra. Mereka
sudah tak bernyawa……”
Ponsel ditangannya terlepas. Rasanya ia tengah tak punya
hati. Zaid tak mengerti siapa yang harus disalahkan. Dirinya kah? Ia
benar-benar sudah kehilangan semuanya. Keluarga, mutiara terindah kata orang.
Tapi……
Hujan turun mendadak. Membasahi daun-daun kering di musim
gugur. Ia tak lagi mampu mencium wangi hujan di musim gugur. Air matanya
mengalir bersama hujan.
Taman Flower Zone
Fauziah
XI IPA 1
0 komentar :
Posting Komentar