Sabtu, Februari 02, 2013

Lost in Love



Assalamualaikum Warohmatullahi wa barokatuh…
Ini mengenai kisah temanku yang pernah ia ceritakan padaku sekitar beberapa tahun silam. Tepatnya saat pertama masuk kuliah. Aku ingin kembali menuliskannya hanya untuk sebagai alarm diriku sendiri agar lebih menjaga nama baik hijab kita, diri kita, islam kita, dan cinta Allah.
Bagaimana kalau aku mengisahkannya dengan penokohan sudut pandang pertama “aku” nya sebagai temanku bukan diriku. Jadi, inilah kisahnya. Semoga kalian gak kebingungan ya..
***
Ayahku seseorang yang terpandang, menjabat sebagai kepala sekolah dan saat itu, juga sebagai seorang ustadz. Setelah 6 tahun aku belajar di pondok, maka tiba saatnya aku harus menjelajahi dunia kampus. Tak perlu kujelaskan dimana aku kuliah, karena itu tak penting. Yang terpenting adalah aku sangat antusias berada di dunia luar ini. Dunia luar? Benar! Tapi tetap saja aku masih tinggal bersama orang tuaku, jadi tak terlalu bebas kan. Disisi lain, aku juga merasa was-was. Beberapa orang mengisahkan betapa kejamnya dunia luar, ia bisa meruntuhkan sebuah jati diri terbaik bernama ‘keistiqomahan’.
Aku tak punya bayangan bagaimana sosok diriku sendiri saat berada di bangku kuliah, aku hanya merasa aku perlu menjalaninya begitu saja, mengalir seperti air. Jadi ku jalani. Ospek, kerja kelompok, organisasi, mengerjakan tugas, jalan-jalan setiap hari.
Sebagai kisah flashback untuk kalian, ketika di pondok pesantren aku tidak benar-benar santri yang baik, tapi juga tidak terlalu nakal. Melihat dari sisi keluargaku, aku banyak berprestasi. Memiliki hafalan al-qur’an terbanyak, nilai muhadhorohku jayid jiddan, kosa kata bahasa arabku melebihi target. Great kan! Tapi, karena wajahku yang lumayan cantik (kata orang-orang), aku beberapa kali juga sering menerima surat cinta dari santri-santri putra, bahkan kadang-kadang ustadzku berani bilang ingin malamarku. Aku membalas mereka, tapi tak benar-benar meladeni setiap tingkah mereka. Karena, aku sendiri, punya patokan tinggi untuk orang yang kusukai. Harus tampan, agamanya baik, dan pintar.
Harus tampan, agamanya baik, dan pintar. Ini juga alasanku berani memasuki dunia kampus, bukan memilih melanjutkan mengabdi di pondok lain, atau malanjutkan kuliah di Arab, Mesir atau kota islam lainnya. Aku mengincarnya.
Aku mengikuti liqo-liqo yang ada di kampus. Sama saja penjelasannya. Tak boleh pacaran, tak boleh berzina, bla bla bla.. aku hapal. Maka jelas, mana ada ikhwan yang bakal mau pacaran sama aku.
Sambil menunggu takdir (Ehm!), aku dekat dengan beberapa teman laki-lakiku, tak benar-benar dekat. Tapi, memang aku sudah hampir terhanyut, jarang ikut pengajian, jilbab tak selebar ketika dipondok, orang tua jadi sering menegurku juga.
Dan sekitar 2 bulan aku mulai melirik seorang ikhwan yang kukagumi. Aku memberanikan diri untuk sms dan ternyata mendapat respon. Ini pertama kalinya aku gugup, merasa harus bercerita pada seseorang karena aku  tak bisa mengatasi semua sendiri. Aku bercerita pada temanku ( dalam hal ini aku, si penulis). Dia tak benar-benar menjawab banyak setiap aku cerita.  Aku bercerita dari jarak jauh, hanya lewat chat, sms, atau telpon. Jadi, aku tak benar-benar tahu reaksinya.
Seorang ikhwan itu, aku tahu imagenya baik. Dia mengenalku sebagai seoarang akhwat, mengenal ayahku dengan baik. Sosoknya adalah seorang siswa teladan dan juga aktivis. Benar-benar seperti apa yang aku idam-idamkan.
Satu bulan, dua bulan dan menjelang tiga bulan kemudian, hubungan kami masih berlanjut. Meski hanya sekedar smsan. Tanpa telponan atau bahkan bertemu. Ia tak pernah menghubungiku lewat dari pukul 9 malam atau setelah isya. Entah kenapa…
Kak, bagaimana perasaan mu padaku?
Suatu hari aku menyakan hal itu pada si ikhwan. Selama ini, memang selalu aku yang memulai bertanya duluan. Beberapa lama kemudian ia membalas.
Ada perasaan yang jelas. Pasti ada perasaan. Apalagi kita sering berhubungan begini
Wajahku memerah. Rasanya sangat berbunga-bunga, meski ia belum sepenuhnya menyatakan hatinya.
Boleh tidak aku meminta sesuatu?
Apa kak?
Mau tidak jadi pacarku?

APA? Aku membaca berulang-ulang pesan singkat itu. Sesuatu menyentak-nyentak perasaanku. Ya ampun, bagaimana ini? Aku seorang akhwat, lalu bagaimana kalau ayahku tahu. Bagaimana kalau akhwat-akhwat lain tahu. Tapi sungguh, aku ingin, ingin sekali lebih dekat dengannya. Dengan setengah ragu dan yakin aku membalas.
Iya
Setelah itu tak ada balasan lagi
***
Jadi inilah kisah temanku. Selesai? Tidak!
Hari itu, aku sedang berada di bus menuju bandara. Aku menerima sebuah sms dari temanku itu,
Fa, ikhwan itu sms barusan setelah semalam nembak aku. Dan aku nggak tahu harus bilang apa. Aku kirim ya ntar smsnya.

Assalamualaikum, ukhty
Maaf atas permintaan semalam saya. Saya mengagumi ukhti lebih daripada akhwat manapun. Dari segi kecantikan terutama, apalagi keturunan, latar belakang, prestasi. Siapa yang tak akan kagum pada antum. Sejak pertama antum sms saya, saya sudah memicingkan mata. Bingung. Tapi saya jalani. Dan semalam saya mencoba menjelaskan sejelas-jelasnya bagaiamana perasaan saya. Penegasan ini lebih untuk diri saya sendiri, bukan untuk antum. Saya sudah dewasa, sudah lebih dari cukup untuk meminang seorang wanita. Dan ketika saya mengucapkan cinta, dan tanpa babibu lagi antum juga menjawab iya. Saat itu juga saya meyakinkan diri saya, bahwa saya tidak bisa memilih antum untuk menjadi pendamping saya. Dalam hal ini,  saya butuh akhwat yang menjaga hatinya.
Aku agak tercekat, membacanya dalam perenungan yang dalam. Aku rasa ini adalah pelajaran hidup . Sebuah teguran yang tak perlu semua orang mencicipinya. Aku juga tak mengetakan aku lebih baik dibandingkan temanku itu. Ini hanya mengenai pengalaman. Pengalamannya dan pengalaman temanku itu berbeda. Aku tak membela temanku itu, tapi tak juga membela ikhwan itu, yang menurutku cukup berani menyakiti hati wanita. Sejak awal temanku bercerita tentang ikhwan tersebut, aku hanya memikirkan 2 hal, secantik apapun temanku itu. Benarkah ia seorang ikhwan? Apa begitu lebel ikhwan di kampus? Tunduk pada kecantikan Atau (yang kedua) ia, ikhwan itu, hanya menguji.
Aku hanya mengerti disaat yang sama temanku disana sedang menangis, merasa tersakiti, menyesal dan malu.

4 komentar :

Unknown on 15 Februari 2013 pukul 18.03 mengatakan...

so sad.. fa,,
ternyata kita harus banyak2 belajar mengenai cinta.. hehe
*ijin baca2 blogmu yaa.. :)

Fauzia Sadia Dhanies on 16 Februari 2013 pukul 07.39 mengatakan...

Hehe.. apa yang sedih mba?
Nggeh... saya juga suka baca blog mba kok..

Unknown on 17 Februari 2013 pukul 23.29 mengatakan...

kisahnya itu lhoww..
ternyata ada yaa ikhwan kyk gitu..
kok bisa2nya mengubah perasaannya,, secepat itu..

*wahhh.. ternyata km ngepoin blogku juga..

Fauzia Sadia Dhanies on 10 Maret 2013 pukul 01.53 mengatakan...

Ada.. banyak kayaknya. hehe

Posting Komentar

 

Copyright © 2008 Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez | Blog Templates created by Web Hosting Men