Assalamualaikum
Warohmatullahi wa barokatuh…
Ini mengenai
kisah temanku yang pernah ia ceritakan padaku sekitar beberapa tahun silam. Tepatnya
saat pertama masuk kuliah. Aku ingin kembali menuliskannya hanya untuk sebagai alarm diriku sendiri agar lebih menjaga
nama baik hijab kita, diri kita, islam kita, dan cinta Allah.
Bagaimana
kalau aku mengisahkannya dengan penokohan sudut pandang pertama “aku” nya
sebagai temanku bukan diriku. Jadi, inilah kisahnya. Semoga kalian gak kebingungan ya..
***
Ayahku seseorang yang
terpandang, menjabat sebagai kepala sekolah dan saat itu, juga sebagai seorang ustadz.
Setelah 6 tahun aku belajar di pondok, maka tiba saatnya aku harus menjelajahi
dunia kampus. Tak perlu kujelaskan dimana aku kuliah, karena itu tak penting. Yang
terpenting adalah aku sangat antusias berada di dunia luar ini. Dunia luar? Benar!
Tapi tetap saja aku masih tinggal bersama orang tuaku, jadi tak terlalu bebas
kan. Disisi lain, aku juga merasa was-was. Beberapa orang mengisahkan betapa
kejamnya dunia luar, ia bisa meruntuhkan sebuah jati diri terbaik bernama ‘keistiqomahan’.
Aku tak punya bayangan
bagaimana sosok diriku sendiri saat berada di bangku kuliah, aku hanya merasa
aku perlu menjalaninya begitu saja, mengalir seperti air. Jadi ku jalani. Ospek,
kerja kelompok, organisasi, mengerjakan tugas, jalan-jalan setiap hari.
Sebagai kisah flashback untuk kalian, ketika di pondok
pesantren aku tidak benar-benar santri yang baik, tapi juga tidak terlalu
nakal. Melihat dari sisi keluargaku, aku banyak berprestasi. Memiliki hafalan
al-qur’an terbanyak, nilai muhadhorohku jayid
jiddan, kosa kata bahasa arabku melebihi target. Great kan! Tapi, karena wajahku yang lumayan cantik (kata
orang-orang), aku beberapa kali juga sering menerima surat cinta dari
santri-santri putra, bahkan kadang-kadang ustadzku berani bilang ingin
malamarku. Aku membalas mereka, tapi tak benar-benar meladeni setiap tingkah
mereka. Karena, aku sendiri, punya patokan tinggi untuk orang yang kusukai. Harus
tampan, agamanya baik, dan pintar.
Harus
tampan, agamanya baik, dan pintar. Ini juga alasanku
berani memasuki dunia kampus, bukan memilih melanjutkan mengabdi di pondok
lain, atau malanjutkan kuliah di Arab, Mesir atau kota islam lainnya. Aku mengincarnya.
Aku mengikuti liqo-liqo
yang ada di kampus. Sama saja penjelasannya. Tak boleh pacaran, tak boleh
berzina, bla bla bla.. aku hapal. Maka jelas, mana ada ikhwan yang bakal mau
pacaran sama aku.
Sambil menunggu takdir
(Ehm!), aku dekat dengan beberapa teman laki-lakiku, tak benar-benar dekat. Tapi,
memang aku sudah hampir terhanyut, jarang ikut pengajian, jilbab tak selebar
ketika dipondok, orang tua jadi sering menegurku juga.
Dan sekitar 2 bulan aku
mulai melirik seorang ikhwan yang kukagumi. Aku memberanikan diri untuk sms dan ternyata mendapat respon. Ini pertama kalinya aku gugup,
merasa harus bercerita pada seseorang karena aku tak bisa mengatasi semua sendiri. Aku bercerita
pada temanku ( dalam hal ini aku, si penulis). Dia tak benar-benar menjawab
banyak setiap aku cerita. Aku bercerita
dari jarak jauh, hanya lewat chat, sms,
atau telpon. Jadi, aku tak benar-benar tahu reaksinya.
Seorang ikhwan itu, aku
tahu imagenya baik. Dia mengenalku
sebagai seoarang akhwat, mengenal ayahku dengan baik. Sosoknya adalah seorang siswa teladan dan
juga aktivis. Benar-benar seperti apa yang aku idam-idamkan.
Satu bulan, dua bulan
dan menjelang tiga bulan kemudian, hubungan kami masih berlanjut. Meski hanya
sekedar smsan. Tanpa telponan atau bahkan bertemu. Ia tak pernah menghubungiku
lewat dari pukul 9 malam atau setelah isya. Entah kenapa…
Kak,
bagaimana perasaan mu padaku?
Suatu hari aku menyakan
hal itu pada si ikhwan. Selama ini, memang selalu aku yang memulai bertanya
duluan. Beberapa lama kemudian ia membalas.
Ada
perasaan yang jelas. Pasti ada perasaan. Apalagi kita sering berhubungan begini
Wajahku memerah. Rasanya
sangat berbunga-bunga, meski ia belum sepenuhnya menyatakan hatinya.
Boleh
tidak aku meminta sesuatu?
Apa
kak?
Mau
tidak jadi pacarku?
APA? Aku membaca berulang-ulang pesan
singkat itu. Sesuatu menyentak-nyentak perasaanku. Ya ampun, bagaimana ini? Aku
seorang akhwat, lalu bagaimana kalau ayahku tahu. Bagaimana kalau akhwat-akhwat lain tahu. Tapi sungguh, aku ingin,
ingin sekali lebih dekat dengannya. Dengan setengah ragu dan yakin aku
membalas.
Iya
Setelah itu tak ada balasan lagi
***
Jadi inilah
kisah temanku. Selesai? Tidak!
Hari itu,
aku sedang berada di bus menuju bandara. Aku menerima
sebuah sms dari temanku itu,
Fa, ikhwan itu sms barusan setelah semalam nembak aku. Dan aku nggak tahu harus bilang apa. Aku kirim ya ntar
smsnya.
Assalamualaikum, ukhty
Maaf atas permintaan semalam saya. Saya mengagumi ukhti lebih
daripada akhwat manapun. Dari segi kecantikan terutama, apalagi keturunan,
latar belakang, prestasi. Siapa yang tak akan kagum pada antum. Sejak pertama
antum sms saya, saya sudah memicingkan mata. Bingung. Tapi saya jalani. Dan semalam
saya mencoba menjelaskan sejelas-jelasnya bagaiamana perasaan saya. Penegasan ini
lebih untuk diri saya sendiri, bukan untuk antum. Saya sudah dewasa, sudah
lebih dari cukup untuk meminang seorang wanita. Dan ketika saya mengucapkan
cinta, dan tanpa babibu lagi antum juga menjawab iya. Saat itu juga saya
meyakinkan diri saya, bahwa saya tidak bisa memilih antum untuk menjadi
pendamping saya. Dalam hal ini, saya
butuh akhwat yang menjaga hatinya.
Aku agak tercekat, membacanya
dalam perenungan yang dalam. Aku rasa ini adalah pelajaran hidup . Sebuah teguran
yang tak perlu semua orang mencicipinya. Aku juga tak mengetakan aku lebih baik dibandingkan temanku itu. Ini hanya mengenai pengalaman. Pengalamannya dan pengalaman temanku itu berbeda. Aku tak membela temanku itu, tapi tak
juga membela ikhwan itu, yang menurutku cukup berani menyakiti hati wanita. Sejak awal temanku bercerita tentang ikhwan tersebut, aku hanya memikirkan 2 hal, secantik apapun
temanku itu. Benarkah ia seorang ikhwan? Apa begitu lebel ikhwan di kampus? Tunduk
pada kecantikan Atau (yang kedua) ia, ikhwan itu, hanya menguji.
Aku hanya
mengerti disaat yang sama temanku disana sedang menangis, merasa tersakiti,
menyesal dan malu.
4 komentar :
so sad.. fa,,
ternyata kita harus banyak2 belajar mengenai cinta.. hehe
*ijin baca2 blogmu yaa.. :)
Hehe.. apa yang sedih mba?
Nggeh... saya juga suka baca blog mba kok..
kisahnya itu lhoww..
ternyata ada yaa ikhwan kyk gitu..
kok bisa2nya mengubah perasaannya,, secepat itu..
*wahhh.. ternyata km ngepoin blogku juga..
Ada.. banyak kayaknya. hehe
Posting Komentar