Merasa
tersinggung, marah, atau kecewa adalah makanan sehari-hari yang sering dialami
siapa pun dalam hidup. Pada beberapa kasus, sebaiknya tak berhenti dengan
kemarahan saja tanpa melakukan apa pun. Balas tindakan orang yang membuat kita
terluka.
sejak
kecil, kita selalu diajarkan untuk memaafkan dengan ikhlas perbuatan orang lain
yang mengusik kenyamanan kita. Hanya, jika orang-orang di sekeliling terus
menyakiti, tak berhenti membuat kecewa, atau malah perbuatan semena-mena
menyepelekan kehidupan kita membuatnya ketagihan, kita harus bertindak.
Lampiaskan emosi yang selama ini tersimpan dengan satu tindakan: balas dendam.
Eits,
bukan berarti membalas menyakiti atau merendahkannya, melainkan membalas dengan
membuat perubahan dalam diri sendiri. Seperti kata motivator Mario Teguh, cara
terbaik balas dendam terhadap orang yang menghina kita adalah menjadi lebih
berhasil dari orang tersebut. Memberi maaf jadi hal pertama yang wajib
dilakukan, tapi jangan melupakan yang siapa pun katakan tentang diri kita.
Ingat dan jadikan bahan untuk menelusuri alasan orang lain bisa menganggap kita
seperti itu, karena semua hal terjadi bukan tanpa alasan, kan. Nah, dari sana
kita bisa mulai “bergerilya”, diam-diam mengubah hal negatif yang orang katakan
dan jadi pribadi yang lebih baik lagi.
Kata
orang bijak, orang yang menyadari kekurangannya sendiri akan berusaha untuk
menutupi kekurangan tersebut dengan menonjolkan kelebihannya. Nobody’s
perfect, so yang bisa dilakukan hanya sebisa mungkin sukses
dengan menjadikan kekurangan sebagai bahan pelajaran dalam hidup, modal utama
untuk mengembangkan potensi pribadi. Semakin sadar banyak kelemahan ada dalam
diri kita, semakin membuat kita mawas diri.
Pernah
membaca Anger, Madness, and the Daimonic: The Psychological Genesis of
Violence, Evil, and Creativity? Dalam buku itu, Dr. Stephen A. Diamond
mengutarakan korelasi antara kemarahan dengan kreativitas. Artinya, dua hal
tersebut saling mendukung. Kemarahan yang disalurkan ke hal positif akan
berdampak positif juga. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara yang
juga pendiri Klinik Psikologi Ajna, Aswini Widjaja, pun mengungkapkan bahwa
manusia bergerak berdasarkan emosi, dan amarah adalah salah satu bagian dari
emosi tersebut. Sehingga masuk akal jika kemarahan menghasilkan reaksi yang
membuat kita lebih kritis, sebagai antisipasi atas ancaman dari orang lain yang
mengusik kenyamanan. Saran Aswini, kita tak perlu memendam amarah karena akan
merugikan diri sendiri. “Badan akan terasa sakit, agresif, atau pelampiasan
kemarahan ke objek lain di luar sumber masalah,” jelasnya. Karenanya, daripada
menimbulkan masalah baru akibat ketidakstabilan emosi, amarah lebih baik
dikelola dengan cara diekspresikan ke arah positif dan proporsional.
Orang
yang bahagia adalah yang mampu berpikir secara asosiatif, melihat sesuatu dari
sudut pandang berbeda sehingga lebih terbuka akan kemungkinan atau ide baru
yang lebih kreatif. Jadi, tak perlu membalas perkataan orang dengan perkataan
yang sama atau lebih menyakitkan, tapi cukup “membalas”-nya dengan tindakan.
Buktikan kita bisa jadi yang terbaik, dengan begitu “pembalasan” akan membuat
orang lain makin resah dan gelisah. Ssstt, sudah siap “balas dendam”
juga?
Yemima Lintang
Khastiti .FIMELA.COM
0 komentar :
Posting Komentar